Saturday, February 26, 2011

Kampus Baca | Makalah Politik Indonesia

PROSES POLITIK INDONESIA DALAM PROYEKSI DAN DIMENSI SEJARAH
1. PENDAHULUAN

Hendak kemana arah sistem politik indonesia ? serta bagaimana proses pengambilan keputusan dalam persoalan-persoalan tertentu dapat diambil, merupakan suatu pertanyaan yang perlu dijawab. Soal ini telah mulai memasuki wilayah sistem pengelolaan politik.
Melalui penelaahan sejarah dan uraian deskriptif, kemudian akan tumbuh telaahan yang menuju kesimpulan (inferensial), untuk itu perlu dibahas segala persamaan dan perbedaan esensial yang dapat menggenapi pandangan tentang sistem politik indonesia.
Merupakan suatu hal yang memberikan pemahaman serta pendidikan politik di Indonesia kendati telah banyak terjadi persitegangan antara pihak muslim, nasionalis, dan komunis. Pendidikan politik perlu suatu kesimpulan, yang dapat memberikan solusi buat permasalahan pergolakan politik di Indonesia ke arah kemajuan bangsa.

2. PEMBAHASAN
Adapun yang hendak dibahas disini adalah mengenai rentang pergolakan politik di Indonesia antara lain seperti yang terjadi :
1. Zaman Demokrasi Liberal
Di Indonesia demokrasi liberal berlangsung sejak 3 november 1945, yaitu sejak sistem multi-partai berlaku melalui maklumat pemerintah. Sistem multi-partai ini lebih menampakkan sifat instabilitas politik setelah berlaku sistem parlementer dalam naungan UUD 1945 periode pertama.
Demokrasi liberal dikenal pula sebagai demokrasi – parlementer oleh karena berlangsung dalam sistem pemerintahan parlementer ketika berlakunya UUD 1945 periode pertama, konstitusi RIS, dan UUDS 1950. dengan demikian demokrasi –liberal secara formal berakhir pada 5 juli 1959, sedang secara material berakhir pada saat gagasan Demokrasi –Terpimpin dilaksanakan melalui pidato Presiden di depan Konstituante tanggal 10 November 1956 atau pada saat konsepsi Presiden tanggal 21 Januari 1957 dengan dibentuknya Dewan Nasional, seperti telah di uraikan .
Dalam periode demokrasi – liberal ini ada beberapa hal yang secara pasti dapat dikatakan telah melekat dan mewarnai prosesnya, yaitu sebagai berikut :
A. Penyaluran tuntutan
Tuntutan terlihat sangat intens (frekuensinya maupun volumenya tinggi) dan melebihi kapasitas sistem yang hidup, terutama kapabilitas atau kemampuan mesin politik resmi. Melalui sistem multi-partai yang terus berkembang biak, penyaluran input-pun sangat besar, namun kesiapan kelembagaan belum seimbang untuk menampungnya. Timbulah krisis akibat meningkatnya partisipasi dalam wujud tuntutan itu kurang efektif berfungsi, karena “gatekeeper” (elit politik) belum mempunyai konsensus untuk bekerja sama, atau pola kerjasama belum cukup tersedia.
B. Pemeliharaan dan kontinuitas nilai
Keyakinan atas hak asasi manusia demikian tingginya, sehingga menumbuhkan kesempatan dan kebebasan luas dengan segala eksesnya. Ideologisme atau aliran pemikiran ideologis bertarung dengan aliran pemikiran pragmatik. Aliran pragmatik diilhami oleh paham / aliran sosial – demokrat melalui PSI, sedang yang ideologik diilhami oleh nasionalisme radikal melalui PNI..
C. Kapabilitas
Kekayaan alam dan manusia Indonesia ketika itu masih potensial sifatnya dan belum didayagunakan secara maksimal. Namun beberapa kabinet, sesuai dengan sifat pragmatik yang mengilhaminya, lebih menekankan pada pengolahan potensi tadi dan mengambil tindakan pengaturan distribusi.
Dalam kabinet yang beroreintasi pragmatik tadi, usaha bidang perekonomian lebih diarahkan pada pola ekonomi bebas, sedangkan pada kabinet yang lebih menonjolkan konsep kemakmuran lebih kentara dalam kabinet yang pragmatik, sedang konsep menuju keadilan mendapat perhatian kabinet yang ideologis. Hanya kabinet-kabinet tertentu saja yang mempunyai kapabilitas untuk menata perimbangan antara konsep keadilan dan konsep kemakmuran tersebut secara serasi.
D. Integritas
Terjadi hubungan antara elit dengan massa berdasarkan pola integrasi aliran. Integrasi aliran. Integrasi ini tidak selalu harus berati bahwa prosesnya dari atas (elit) ke bawah (massa) saja, melainkan juga dari massa ke kalangan elit berdasarkan pola paternalistik
E. Integrasi horisontal
Agak sukar mengatakan bahwa antara elit politik yang satu dengan elit politik lainnya terjalin integrasi yang dapat di andalkan. Kendatipun pernah terjadi semacam integrasi kejiwaan antar elit, tetapi akhirnya berproses ke arah disintegrasi juga. Di lain pihak, pertentangan antar elit itu bersifat menajam dan terbuka.
Kategori elit Indonesia yang disebut penghimpunan solidaritas (solidarity markers) lebih menampak dalam periode demokrasi-liberal itu. Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian kepemimpinan dalam mana kelompok administrator memegang peranan.
Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar elit demikian mulai sejak terbentuknya Dewan banteng, Dewan gajah, dan PRRI pada tahun 1958.
F. Gaya Politik
Bersifat ideologis, artinya lebih menitikberatkan faktor yang membedakan, sebabnya ialah karena ideologi cenderung bersifat kaku dan tidak kompromistik atau reformistik.
Adanya kelompok-kelompok yang mengukuhi ideologi secara berlainan, bahkan bertentangan pada saat berhadapan dengan kebuntuan penetapan dasar negara pada sidang konstituante.
Gaya Politik yang ideologik dalam konstituante ini oleh elitnya masing-masing dibawa ke tengah rakyat, sehingga timbul ketegangan dan perpecahan dalam masyarakat.
G. Kepemimpinan
Berasal dari angkatan Sumpah Pemuda yang lebih cenderung,belum permisif untuk meninggalkan pikiran-pikiran partenal, primordial terhadap aliran, agama, suku, atau kedaerahan .(dari sudut ini, Sumpah Pemuda tahun 1928 barulah merupakan ucapan dan ikatan resmi dan belum membudaya secara material pada waktu itu).
H. Perimbangan partisipasi politik dengan kelembagaan
1) Massa
Dapat dicatat bahwa partisipasi massa sangat tinggi ,sampai –sampai tumbuh anggapan bahwa seluruh lapisan rakyat telah berbudaya politik partisipasi. Anggapan bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peritiwa politik yang timbul ketika itu.
Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana di belakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan / keikutsertaaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika itu.
2) Veteran dan Militer
Karena dalam periode tersebut pengaruh demokrasi-barat lebih dominan ,maka keterlibatan militer dalam arena politik (dalam hal ini partisipasi politik) tidak terlalu kentara. Justru supremasi sipilah yang menonjol ;salah satu indikator nya ialah :jabatan menteri pertahanan selalu dipegang oleh tokoh sipil.
Dalam periode itu pula ,militer yang mempunyai kepangkatan tertentu tidak diperbolehkan duduk dalam DPR melalui pemilihan umum. Tetapi partisipasi militer reguler tidak dibedakan dengan partisipasi kelompok sipil ,misalnya dalam hal hak pilih aktif dalam pemilihan umum.
Hanya beberapa kasus tertentu saja,a.1.peristiwa 17 oktober 1952, yang menyebabkan meningkatnya usaha militer untuk berpartisipasi aktif, dan beberapa tahun kemudian, menjelang pemilihan umum 1955, tumbuh partai politik yang pimpinannya terdiri atas eksponen militer. Tetapi ikatan korps antara purnawirawan dengan tentara reguler belum menunjukan keeratan seperti sekarang (lihat peranan Pepabri dll).
I. Pola Pembangunan Aparatur Negara
Diselenggarakan menurut pola yang bebas, artinya di tolerir adanya ikatan dengan kekuatan –kekuatan politik yang berbeda secara ideologis. Akibatnya fungsi aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum tanpa perkecualiaan, menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut ikatan primordial.
Pengangkatan pejabat, yang merupakan salah satu kewenangan eksekutif, di lakukan atas dasar senang dan tidak senang.maka tumbuhlah semacam sistem “anak emas” Loyalitas kembar anggota aparatur negara ,yaitu setia kepada golonganya dan setia kepada negara sekaligus ,adakalanya membuat mereka leluasa setia kepada negara sekaligus ,adakalanya membuat mereka leluasa dan dengan semena-mena mentorpedo kebijaksanaan pemerintah yang berkuasa. Perlu dicatat bahwa kesetiaan kepada negar dalam beberapa segi sama dengan kesetiaan kepada pemerintah ,karena dalam beberapa hal pula negara itu identik dengan pemerintah.
Pemerintah sebagai perwujudan negara tidak dalam segala kodisi identik dengan negar. Perbedaan konsep pandangan mengenai negara dan pemerintah ini dapat menajam dalam sistem multi-partai seraya menumbuhkan oposisi yang eksesif, tidak seperti konsep permaneni civil service di inggris yang disertai sistem dua partai.
J. Tingkat stabilitas
Akibat berinteraksinya variabel yang diuraikan dalam a sampai i, timbullah labilitas pemerintahan / politik yang kemudian menjadi sebab utama yang kemudian menjadi sebab utama keterlambatan pembangunan.

2.Zaman Demokrasi Terpimpin
Dalam periode demokrasi terpimpin ini pemikiran ala demokrasi barat banyak ditinggalkan. Tokoh politik (Soekarno) yang memegang pimpinan nasional ketika itu menyatakan bahwa demokrasi-liberal (demokrasi-parlementer) tidak sesuai dengan kepribadian bangsa indonesia. Prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat dinyatakannya pula sebagai tidak efektif dan ia kemudian memperkenalkan apa yang disebut musyawarah untuk mufakat.
Sistem multi partai oleh tokoh politik tersebut dinyatakan sebagai salah satu penyebab inefektivitas pengambilan keputusan ,karena masyarakat lebih didprong ke arah bentuk yang fragmataris.
Untuk merealisasikan Demokrasi-Terpimpin ini, kemudian dibentuk badan yang disebut Front Nasional. Periode ini disebut pula periode pelaksanaan UUD 1945 dalam keadaan ekstra-ordiner; disebut demikian, karena terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945.
a.Penyaluran tuntutan
dalam periode ini pun masih berlanjut besarnya tuntutan yang melebihi kapasitas sistem. Setelah penyerdahanaan kepartaian dan pembentukan FN tersbut ,diperolehlah suatu stabilitas. kadar stabilitas ini dapat dinilai sebagai berwatak semu oleh karena ternyata kemudian tidak meletakkan dasar yang kuat dalam proses pergantian pimpinan nasional. Titik berat stabilitas itu lebih mengandalkan pada adanya tokoh politik yang dapat mengelola FN tersebut.
b.Pemeliharaan dan Kontinuitas Nilai
Sesuai dengan orientasi menuju satu nilai mutlak, maka secara konsisten pula hak asasi manusia sering dikesampingkan sebaliknya, mobilisasi kekuatan ke arah tujuan yang bernilai mutlak lebih digiatkan melalui Front Nasional (Amati dukungan untuk mengangkat Ir.Soekarno sebagai presiden seumur hidup yang sebenarnya inkonstitusional).
Dalam periode ini orientasi yang ideologis melalui indoktrinasi lebih mendapat angin ketimbang orientasi yang bersifat pragmatis. Karena konfigurasi yang sebenarnya dalam FN tersebut masih mengembangkan aneka ideologi masing-masing anggotanya, yaitu partai politik, maka konflik kecil dan konflik yang terselubung muncul keluar.
Bahwa tidak terjadi konflik ideologi yang lebih terbuka adalah karena pengaruh tokoh politik dalam menjaga keseimbangan antar-ideologi tersebut masih cukup efektif. Yang lebih berkecamuk ialah konflik kejiwaaan yang akhirnya meledak dan mengakibatkan hancurnya nilai sistemnya sendiri.
c.Kapabilitas
Serta merta dengan lebih diarahkannya aktivitas terhadap nilai-nilai yang bersifat mutlak,maka pemerintah cenderung untuk lebih berperan dalam mengelola bidang ekstraktif dan distributif.
Sejalan dengan nilai tersebut diatas , timbullah keterlibatan pemerintah dalam bidang perekonomian yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak (sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang bersifat normatif), ditandai dengan reaksi yang menentang kebebasan ekonomi yang diperoleh dalam periode demokrasi-liberal.
Perusahaan-perusahaan negara yang dibentuk dalam rangka pelaksanaan nasionalisasi beberapa waktu sebelum Dekrit Presiden, merupakan hal dirasakan sesuai dengan konsepsi Demokrasi-Terpimpin.
d.Integrasi vertikal
Dengan adanya intensifikasi pembangunan bangsa maka sifat primordial (daerah, kesukuan) dan pola aliran yang ada sebelumnya, secara formal dibatasi. Oleh karena itu,hubungan antara elit dari atas ke bawah, atas dasar pola saluran konvensional. Nyatalah dalam hal ini paternalisme dapat hidup lebih subur.
e. Integrasi Horizontal
Pertentangan antar-elit menyebabkan elit tertentu diisolir dan diasingkan secara politis. Dalam pertarungan ini elit yang biasa menghimpun solidaritaslah yang dapat muncul diarena politik, sehingga elit administrator tersisihkan. Partai Sosialis Indonesia dan Masyumi sebagi wajah kaum Sosial-Demokrat dan Islam modernis yang juga berkaitan tenaga adminstrator kemudian di potong garis hidupnya.
f. Gaya Politik
Ideologi masih tetap mewarnai periode ini , walaupun sudah dibatasi secara formal melalui penpres tentang syarat-syarat dan penyerdahanaan kepartaian. (penpres. No.7-1959) Tokoh politik memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Kompetisi Nasakomis masih dibenarkan, karena dalam kondisi tersebut tokoh politik dapat memelihara keseimbangan, ”jor-joran”
g. Kepemimpinan
Para pemimpin berasal dari Angkatan 1928 dan Angkatan 1945, dengan tokoh politik Soekarno sebagai titik pusatnya. Kepemimpinan tokoh politik ini berdasar pada politik mencari kambing hitam.
Karena sifat kharismatik dan paternalistiknya, tokoh politik ini dapat menengahi dan kemudian memperoleh dukungan dari pihak-pihak bertikai, baik dengan sukarela maupun terpaksa.
h. Perimbangan Partisipasi Politik dan Kelembagaan
1) Massa
Partisipasi dibatasi saluran inputnya,yaitu hanya melalui FN Untuk menunjukkan kesiapan kelembagaannya, maka di tumbuhkanlah output simbolik dalam bentuk rapat-rapat raksasa yang menguntungkan rezim yang berkuasa ketika itu.
Akibatnya ,partisipasi pad hakikatnya lebih besar daripada kesiapan kelembagaan pemerintahan. Hal ini dapat berarti daya responsif pemerintah dimanipulasikan melalui pambentukan dukungan sebagai kamuflase, yang oleh karena itu hanya bersifat maya (imaginer) belaka. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat di anggap telah memeliki budaya politik sebagai partisipan, melainkan menunjukkan tingkat budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari rezim.
2) Veteran dan Militer
Sejak Denas dan FN terbentuk, penyaluran kepentingan bekas pejuang lebih meningkat. Organisasi bekas pejuang ini lebih dikenal dengan nama Angkatan 1945, yang termasuk golongan fungsional.
Di lain pihak, partisipasi militer mulai menampakkan diri dengan jelas , juga sejak pembentukan Denas dan FN . Indikator meningkatnya partisipasi ini ialah bertambah banyaknya jabatan penting dalam pemerintahan, yang biasanya dipegang oleh kaum sipil,kini dipegang oleh eksponen ABRI.
i. Pola Pembangunan Aparatur Negara
Loyalitas kembar pegawai negeri telah diganti dengan monoloyalitas, walaupun hanya terbatas pada tingkat kepangkatan tertentu saja (golongan F 1 ke atas) Artinya, pegawai negeri golongan F 1 ke atas harus menanggalkan keanggotaannya dari partai politik.
j. Tingkat Stabilitas
Stabilitas, ditinjau dari segi tersedianya jangka waktu yang cukup lama untuk melaksanakan program pemerintahan dan kotinuitas pemerintahan, sebenarnya cukup dapat menelurkan prestasi pembangunan. Namun stabilitas ini tidak diarahkan guna melancarkan pembangunan bagi kesejahteraan dalam arti luas.
3. Zaman Demokrasi Pancasila
Penelaahan terhadap Demokrasi-Pancasila tentu tidak dapat bersifat final disini , karena masih terus berjalan dan berproses Herbert Feith pernah menulis artikel yang berjudul suharto’s search for a political format pada tahun 1968, yaitu pada awal Demokrasi Pancasila ini diperkenalkan dan mulai dikembangkan. Oleh karena itu semua hal yang di kemukakan disini semata-mata hanya dalam usaha mencari format Demokrasi-Pancasila tersebut.
Praktek-praktek mekanisme Demokrasi –Pancasila masih mungkin berkembang dan berubah,atau mungkin belum merupakan bentuk hasil proses yang optimal, sebagai prestasi sistem politik indonesia.
a. Penyaluran Tuntutan
Dalam periode Demokrasi-pancasila ini (setidak-tidaknya sampai dewasa ini) penyaluran berebagai tuntutan yang hidup dalam masyarakat menunjukkan keseimbangan. Melalui hasil penyederhanaan sistem kepartaian ,muncullah satu kekuatan politik yang dominan.
Banyak akibat yang ditumbuhkan oleh pola penyaluran tuntutan semacam ini , yang dalam kenyataannya disalurkan secara formal melalui tiga kekuatan sosial politik ,yaitu: Golongan karya, Partai Persatuan Pembangunan (fusi NU,Partai Muslimin Indonesia, PSII, dan perti), dan Partai Demokrasi Indonesia (fusi PNI, Parkindo, Partai Katholik, IPKI, dan Partai Murba).
Secara material penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakekatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern.
Dalam sistem Demokrasi-Pancasila ini sudah tiga kali berlangsung pemilihan umum, yaitu tahun 1971 ,1977,dan 1982 . Dengan demikian penyaluran tuntutan secara formal-konstitusional telah terpenuhi.
b. Pemeliharaan dan kontinuitas Nilai
Hak asasi manusia berkali-kali ditegaskan oleh pemerintah bahwa hak itu secara implisit mengandung pula kewajiban asasi setiap anggota masyarakat. Dengan demikian . di samping ada parsipasi, tentu pula ada mobilisasi.
Ideologisme yang mengganas dalam masa dua sistem politik sebelumnya sekarang sudah dapat didinginkan atau setidak-tidaknya tak lagi menjadi ciri penyelanggaraan kontinuitas nilai berbagai kekuatan politik yang ada.
Gaya pragmatik telah ditonjolkan, sehingga konflik boleh dikatakan menurun sampai tingkat derajat yang cukup berarti untuk dicatat.
c. kapabilitas
Di bidang ekstratif dan distributif yang menyangkut moditi pokok, pemerintah mengambil peranan besar. Sedang yang menyangkut barang lainnya, menurut alam ekonomi yang bercorak lebih terbuka, yaitu disesuaikan dengan hukum-hukum ekonomi universal , pihak swasta pun dapat berperan .
Keterbukaan ekonomi ini merupakan kebalikan Ekonomi-terpimpin yang menghasilkan kelangkaan dalam berbagai kehidupan.
d. Integrasi Vertikal
Dewasa ini adanya saluran antara elit dengan dan sebaliknya , lebih dirasakan . begitu pula, terlihat adanya hubungan antara perencana (planner) dengan mereka yang direncanakan (planee),antara pemimpin dengan mereka yang di pimpin, antara pengelola dengan mereka yang dikelola. Melalui berbagai saluran. Komunikasi “dua-arah” dijalankan untuk mencapai integrasi vertikal antara pemerintah dengan rakyat dan antara elit dengan massa.
e.Integrasi horizontal
Hubungan antar-elit mulai menampak dalam usaha membentuk konsensus nasional dalam menyelenggarakan pembangunan melalui pola yang jelas.
f. Gaya politik
Gaya ideologik boleh dikatakan sudah hampir tidak manggung lagi, yang menonjol ialah gaya intelektuai yang pragmatik.
Melalui penyaluran kepentingan yang berorientasi kepada program dan pemecahan masalah.
g. Kepemimpinan
Bersifat legal artinya bersumber pada ketentuan-ketentuan normatif-konstitusional. ABRI sebagi titik pusat politik di Indonesia dewasa ini didukung oleh teknokrat.
h. Perimbangan Partisipasi Politik Dengan Kelembagaan
1) Massa
Partisipasi rakyat dikendalikan dan terbatas pada peristiwa-peristiwa politik tertentu saja, dalam pemilihan umum.
Hal ini disebabkan karena adanya konsepsi massa lepas/terapung/mengambang.
Partisipasi rakyat dalam keanggotanya kekuatan-kekuatan sosial politik dewasa ini lebih dijuruskan ke arah pembentukan golongan profesi.
2) Veteran dan Militer
Partisipasi kaum veteran meningkat melalui Angkatan 1945, sedang partisipasi tentara makin ,meningkat dengan adanya doktrin kekaryaan sesuai dengan Dwi Fungsi ABRI.
Partisipasi anggota ABRI dalam lembaga perwakilan/permusyawaratan rakyat dan dalam lembaga perwakilan rakyat tingkat daerah dilakukan melalui pengangkatan.
i. Pola Pembangunan Aparatur Negara
Dijuruskan pada usaha meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atas dasar asas loyalitas terhadap negara. Isyu tentang peranan aparatur negara yang berorientasi kepada kepentingan nasional demi terjaganya integritas aparatur negara tersebut,mendapatkan wadah melalui organisasi-organisasi profesi diatas.
j. Tingkat stabilitas
Stabilitas meningkat melalui pendekatan keamanan (security approach) di samping pendekatan yang bersifat meyakinkan dan membujuk masyarakat. Yang hendak di capai dalam Demokrasi Pancasila ialah tumbuhnya stabilitas yang dinamik.

3. KESIMPULAN.
Pergolakan politik Indonesia khusunya di era orde lama dan orde baru telah banyak mengalami pasang surut dan stagnasi dalam tata kelola pemerintahan di Indonesia baik dari peran eksekutif maupun legislatif dan yudikatif cenderung manipulatif dan hanya dijadikan pion untuk memperkuat kekuasasan legislatif. Perimbangan kekuasaan (power sharing) antara pemerintah dan pihak anti pemerintah (oposisi) cenderung tidak ada sama sekali baik itu di zaman demokrasi liberal, demokrasi terpimpin maupun di zaman demokrasi pancasila. Yang menarik dalam perbedaan antara pergolakan politik di era orde lama dan orde baru adalah tidak adanya dominasi politik diera orde lama yaitu di zaman demokrasi liberal, sementara di era orde lama zaman demokrasi terpimpin serta orde baru zaman demokrasi pancasila tampak pengaruh kekuasaaan eksekutif yang tak bisa disentuh oleh kekuatan politik manapun. Selama masa itu pula ABRI banyak berfungsi sebagai konsolidator politik antara pemerintah dengan masyarakat dimana ABRI berperan ganda baik sebagai kekuatan pertahanan keamanan maupun sebagai kekuatan sosial dan politik (dwifungsi ABRI).

4.DAFTAR PUSTAKA
• Kantaprawira,rusadi.Dr.SistemPolitikIndonesia,SuatuModel Pengantar,Sinar Baru Algesindo,Bandung,2006.
• Merriam, Charles, Systematic Politics, University of Chicago Press, Chicago,1957.


Monday, February 21, 2011

Contoh Laporan PPL , Kampus Baca

Contoh Laporan PPL oleh Kampus Baca 

BAB I PENDAHULUAN
1.1Pentingnya Pelaksanaan PPL bagi Tenaga kependidikan Kampus yang merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pusat pengembangan pendidikan, diharapkan mampu mencetak manusia yang profesional dalam bidang yang digelutinya. Sebagai pendidikan tinggi kampus harus mampu menciptakan sesuatu yang baru, dengan inovasi dan pengembangan yang berkesinambungan. Proses pembelajaran di kampus pada umumnya berupa penggalian teori-teori para ahli, dengan mempelajari buku-buku atau referensi baik yang yang disampaikan oleh dosen secara langsung maupun berupa tugas mandiri atau kelompok. Hal ini mengakibatkan para mahasiswa akan dipenuhi oleh berbagai pengetahuan yang bersifat teoritis tanpa mengetahui manfat dari teori yang dimilikinya, bahkan kemungkinan teori itu ridak dapat dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari di lapangan. Sehingga mahasiswa hanya memiliki kompetensi tanpa performansi. Berangkat dari pemikiran di tas, maka pelaksanaan PPL STKIP-PGRI Sukabumi sangat bermanfaat bagi banyak kalangan, diatranya:
2.1Bagi Mahasiswa Mahasiswa yang selama ini hanya mendapat teori di kampus akan mendapat pengalaman baru selama di lapangan. Berbagai temuan akan didapatnya. Bahkan teori-teori yang didapatnya ternyata tidak serta merta dapat digunakan ketika menghadapi kenyataan di lapangan, karena kondisi di lapangan jauh berbeda dengan kondisi di kampus, bahkan kondisi dilokasi yang satu dengan kondisi lainnya juga akan sangat berbeda. Hal ini akan menjadikan pengalaman baru bagi mahasiswa untuk mampu memnanfaatkan ilmu yang diperolehnya sesuai dengan kondisi yang dihadapinya. Manfaat lainya adalah membuat mahasiswa akan lebih siap untuk terjun kedalam dunia pendidikan apabila kelak sudah terjun ke dunia pendidikan. Karena selama kegiatan PPL, disamping melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas juga melaksanakan kegiatan lainya, yang berkitan dengan kegiatan ekstrakurikuler.
2.2Bagi Perguruan Tinggi Sistem perkuliahan di kampus diharapkan mampu mencetak tenaga-tenaga profesional yang siap pakai, supaya upay-upaya peningkatan penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi terus dilakukan. Salah satu upaya itu adalah penggunaan teknik pembelajaran yang efektif dan tepat sasaran. Dengan pengalaman lapangan yang ternyata sangat membantu mahasiswa dalam mengimplementasikan ilmunya, akan menjadi pertimbangan kampus untuk lebih menekankan PPL ini sebagai mata kuliah dengan jumlah jam yang cukup. Begitu pula bagi dosen yang selama ini hanya memberikan teori-teori yang didapatnya di dalam kampus, akan menjadikan PPL sebagai masukan untuk cara pengajaran bagi mahasiswanya. Penjelasan teori bukalha satu-satunya cra untuk menciptakan sumberdaya yang berkualitas. Bagi program studi khususnya Pendidikan Kewarganegaraan, dapat menjadi \kan PPL ini sebagai sarana untuk menggali dan menemukan hal-hal baru yang berkaitan dengan perkembangan kewarganegaraan di lapangan khususnya di kalangan siswa SLTA, sebagai bahan penelitian yang seterusnya akan memperkaya keberadaan program studi itu sendiri.
2.3Bagi Sekolah Tempat PPL Pada umumnya tenaga pengajar maupun sistem pembelajarannya di sekolah memiliki kecenderungan mengambarkan kondisi yang statis dan sulit menerima perubahan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tenaga pengajar yang tetap menggunakan sistem pengajaran yang diperolehnya di kampus sewaktu kuliah, tanpa mengikuti perkembangan pendidikan dewasa ini, baik dalam materi Kewarganegaraan maupun dalam teknik penyampaian di kelas. Dengan keberadaan peserta PPL yang diharapkan membawa hal baru, akan menyegarkan kembali suasana di sekolah tersebut, baik bagi sekolah maupun bagi tenaga pengajar atau guru. Temuan-temuan maupun materi baru yang berkembangan dalam dunia pendidikan khususnya dalam pendidikan kewarganegaraan, akan menambah wawasan baru bagi guru yang ada. Hal ini diharapkan adanya perubahan yang baik pada sekolah tempat dilaksanakan PPL.
1.2Kondisi kelas Praktikan Secara umum kondisi dan suasana sekolah cukup menunjang pelaksanaan PPL . Dengan jumlah rombongan belajar rata-rata 7 kelas untuk tiap tingkatan, sedangkan jumlah praktikan sebanyak 10 orang, memungkinkan setiap praktikan mendapat porsi praktek yang cukup, meskipun kelas yang digunakan untuk praktek hanya untuk kelas X dan XI. Lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:
A.Kesiswaan
-Jumlah siswa kelas yang menjadi tempat latihan mengajar sebanyak: Kelas X = siswa terdiri dari laki-laki dan putri Kelas XI = siswa terdiri dari laki-laki dan putri Kelas XII = siswa terdiri dari laki-laki dan putri
-Latar belakang pendidikan siswa SMAN 1 Cikembar pada umumnya berasal dari SLTA dan Tsanawiyah yang berada di sekitar Kecamatan Cikembar.
-Latar belakang keluarga siswa SMAN 1 Cikembar pada umumnya berasal dari keluarga biasa dengan taraf ekonomi pra sejahtera sampai sejhtera
-Tingkat intelejensi siswa SMAN 1 Cikembar pada umumnya cukup baik.
B.Bangunan Kelas
-Bangunan kelas berupa tembok permanen dengan kondisi baik dan cukup kondusif untuk berlangsungnya kegiatan belajar mengajar.
-Bangku tempat belajar cukup memadai, dengan bahan dasar kayu berkualitas baik dengan kondisi juga masih baik, dengan bentuk satu meja dua kursi. C.

C.Sumber Belajar Siswa dan Guru
-Buku pegangan siswa khususnya buku paket untuk siswa dan guru sudah memadai, dengan perbandingan 1 : 1
-Buku pegangan siswa berupa LKS yang dibagikan kepada setiap siswa dan buku paket dari sekolah. D.

D.Fasilitas yang lain
-Terdapatnya whiteboard tempat engan kualitas baik untuk proses belajar mengajar. E.
-Sanitasi dan Lingkungan Kelas
-Sanitasi kelas berupa ventilasi udara yang memungkinkan rtukran udara berlangsung lancar, sehingga ruangan tetap nampaksegar dan tidak pengap.
-Lingkungan kelas tempat praktikan di tengah-tengah ruangan kelas lain, sehingga bila pergantian jam pelajaran agak terganggu akibat kebisingan dari siswa lain.
BAB II PARTISIPASI DALAM KEGIATAN SEKOLAH 
Seperti tujuan dilaksanakannya PPL oleh program studi, yaitu untuk mengenal, mengamati, melaksanakan praktek lapangan dan sekaligus menyelesaikan hambatan yang terjadi di lapangan pendidikan, para peserta PPL diwajibkan mengikuti seluruh kegiatan pembelajaran di sekolah tersebut, baik pada kegiatan kurikuler maupun ekstra kurikuler. Secara rinci kegiatan yang telah dilaksanakan adalah sebagai berikut:
2.1Partisipasi dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) 2.1.1 Kegiatan KBM Proses yang dilaksanakan sejak perencanaan hingga pelaksanaan, dimulai sejak observasi, yaitu penjajakan lokasi yang akan dijadikan tempat PPL dilaksanakan, sampai pelaporan hasil kegiatan.
A.Tahap Pembagian Kelas Pembagian kelas diatur oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum, dengan bimbingan kepala sekolah. Hasil keputusan berupa pembagian tugas kelas yaitu sebagian praktikan mengajar di kelas X, XI, dan XII dengan jumlah kelas yang sama.
B.Tahap Pembagian Materi Pelajaran Setelah mendapatkan kelas untuk melaksanakan praktik, guru pamong membagikan tugas berupa pembagian materi yang dijadikan bahan praktik.
C.Tahap Pembagian Jadwal Jadwal mengajar sesuai dengan jadwal dari guru PKN masing-masing kelas. D.Tahap Pelaksanan KBM Sesuai dengan jadwal yang ditentukan serta pembagian hari pelaksanaan kegiatan pembelajaran, penulis mendapat giliran mengajar pada hari kamis dengan menggunakan 12 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Penulis memulai praktik dari tanggal 02 Pebruari 2009 sampai dengan 16 Maret 2009.
2.1.2 Temuan dalam KBM 7
Temuan yang penulis dapatkan, secara umum dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu: hambatan secara teknik dan materi kegiatan
A.Sulitanya membuang kebiasaan lama Siswa Kelas X, XI, dan XII belum terbiasa menggunakan kurikulum KTSP karena sifat anak sekolah dari mulai tingkatan SD, SMP, dan SMA atau sederajat masih suka diberikan materi penuh atau harus dijejali oleh gurunya jadi siswa tidak terbiasa mencari materi secara mandiri.
B.Sulitanya komunikasi antar praktikan Karena jadwal dari setiap peserta praktikan berbeda maka pertemuan diantara peserta praktikan tidak mungkin terjadi, jadi diperlukan waktu khusus untuk bertemu untuk mengadakan konsolidasi program atau materi pelajaran.
C.Terpecahnya konsentrasi Setiap peserta kebanyakan adalah guru di Sekolah Dasar atau Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama sehingga terjadi bentrok jadwal antara jadwal mengajar tetapnya di sekolah dengan jadwal di tempat praktikan sehingga pemberian materi pelajaran akan terpecah-pecah mungkin peserta praktikan yang sedang praktik sudah terkuras tenaganya.
2.1.3 Pembinaan KBM Pembinaan yang diterima praktikan berupa pembinaan secara langsung dan tidak langsung. Pembinaan itu datang dari berbagai sumber seprti dari pihak guru pamong (guru PKN) atau dari guru lain yang peduli terhadap dunia pendidikan.
A.Pembinan dari Kepala Sekolah
-Pembinaan yang diterima adalah pembinaan secara umum dan beberapa pesan pendidikan, saran-saran yang berkaitan dengan permasalahan sekolah serta pembinaan profesi keguruan. -
-Pembinaan dari Kepala Sekolah diberikan manakala praktikan menemukan permaslahan yang pelik, sehingga dari pihak praktikan merasa perlu untuk berkonsultasi dengan Kepala Sekolah.
B.Pembinaan dari Guru Pamong
-Pembinaan dimulai dari sejak penerimaan praktikan di sekolah, perkenalan praktikan dengan siswa, dan pembuatan RPP dan pemberian materi di kelas.
-Pembinaan juga diberikan di setiap akhir pemberian materi di kelas, ini untuk menindaklanjuti kalau terdapat permasalahan.
C.Pembinaan dari guru lainya
-Pembinaan dari guru lin tidak terkait langsung dengan mata pelajaran PKn tetapi lebih bersifat praktis di lapangan, seperti bagaimana menangani siswa di kelas serta beberapa metoda mengajar yang sekiranya cocok di kelas pada materi PKn.
2.2Partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler (kegiatan diluar KBM)
2.2.1 Kegiatan Ekstrakurikuler Sesuai dengan yang diajnjurkan dosen pembimbing, juga oleh pihak sekolah, maka kegiatan praktikan tidak hanya dilakukan dikelas pada jam pelajaran efektif, tetapi kegiatan-kegiatan diluar jam efektif. Seperti pada siang hari setelah jam pelajaran selesai praktikan mengikuti kegiatan ekstrakurikuler berupa:
- Pramuka
- PMR 9
- KIR
- Sajiwa
- Paskibra
- Bollavolley
- Kesenian
2.2.2 Pembinaan oleh Pihak Sekolah Secara umum pembinaan dari pihak sekolah berupa teknik pembelajaran di kelas, sedangkan pembelajaran lainya dilakukan secara tidak resmi pada saat waktu luang atau pada saat praktikan meminta saran-saran yang menyangkut hambatan-hambatan yang ditemuai di sekolah. Materi pembinaan berupa:
-teknik penguasaan kelas secara klasikal
-teknik penguasaan siswa dengan perpedaan individu
-teknik dan trik pembelajaran di kelas
-teknik lain yang berhubungan dengan bimbingan siswa 2.2.3 Hambatan yang ditemui Pada umumnya hambatan yang ditemui hany bersifat teknik saja, disamping hambatan lainya yang berkaitan dengan kesiapan pribadi dengan segala kekurangannya. Hambatan yang dimaksud adalah: -

Karena praktikan kebanyakan mengajar di Sekolah dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama sehingga kebiasaan tersebut terbawa untuk memberikan materi di tingkat SMA. -

Metode belajar kebanyakan diadobsi dari kebiasaan metoda belajar di sekolah dasar atau Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.
BAB III MASALAH-MASALAH KEPENDIDIKAN
3.1 Temuan Masalah Kependidikan Pada dasarnya kita dapat mengelompokan temuan itu menjadi dua masalah, yaitu masalah yang berkaitan dengan KBM dan masalah yang berkaitan dengan materi pembelajaran, termasuk di dalamnya buku penunjang pembelajaran di kelas.
3.1.1 Temuan yang berkaitan dengan proses pembelajaran di kelas STKIP-PGRI Sukabumi adalah salah satu perguruan tinggi yang mencetak calon-calon pendidik yang diharapkan profesional dalam bidangnya, yang memenuhi keinginan para pengguna pendidikan, yaitu masyarakat, dunia usaha dan tentu saja pemerintah. Sehingga ketika pemerintah khususnya Pusat Pengembangan Kurikulum menggulirkan kurikulum baru, dengan pendekatn kompetensi, yang dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) maka arah pendidikan di program studi
Pendidikan Kewarganegaraan harus menggunakan kurikulum baru itu sebagi acuan pendidikannya. Kendala di lapangan ternyata tidak sedikit. Banyak sekolah yang belum siap menghadapi suasana kurikulum baru itu, tetapi untuk SMAN 1 Cikembar ternyata Kurikulum KTSP sudah menjiwai semua tenaga pengajar, semua guru khususnya guru PKn sudah menggunakan kurikulum baru tersebut dalam proses pembelajaran kewarganegaraan.
3.1.2 Temuan yang berkaitan dengan materi pembelajaran di kelas Materi pembelajaran PKn di SMAN 1 Cikembar dan di SMA lainnya tidak jauh berdeda dengan materi PKn di bangku kuliah, tinggal sedikit pengolahan dan mengikuti peraturan kurikulum yang berlaku sudah bisa direalisasikan di depan anak-anak di kelas. Hal ini sangat positif bagi semua praktikan STKIP-PGRI Sukabumi sehingga secara umum masalah materi pembelajran praktis tidak ada permasalahan secara berarti tinggal mengadakan perubahn-perubahan dan sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Bahkan yang sangat membantu par praktikan adalah buku sumber berupa buku paket buku LKS yang sampir semua siswa memilikinya, ini sangat membantu para praktikan dalam menyampaikan materi pelajaran.
3.2 Usaha Penangulangan Masalah yang Ditemukan Usaha yang dilakukan penulis untuk mennanggulangi masalah dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:
A.Konsultasi dengan guru pamong Hal yang berkaitan dengan pembelajaran, penulis langsung berdiskusi dengan guru pamong untuk mendapat kesamaan persepsi. Apabila hal tersebut kurang berkenan dengan guru pamong, penulis meminta kepada guru pamong untuk mencoba menerapkan konsep-konsep pembelajaran yang dipelajari di kampus saja. B.Konsultasi dengan kepala Sekolah Penulispun meminta pendapat dari kepala sekolah untuk mendapat kejelasan masalah dan solusi atau penyelesaiannya.
C.Konsultasi dengan Pembimbing Hal-hal yang berkaitan dengan lembaga, penulis melakukn konsultasi dengan dosen pembimbing berupa permintaan petunjuk penyelesaian masalah yang ditemui.
D.Tukar pendapat dengan para praktikan Salah satu solusi penyelesaian masalah yaitu tukar pendapat dengan sesama rekan praktikan mengenai berbagai cara atau metoda dan materi pelajaran.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN
Setelah penulis melaksanakan PPL dengan segala aktifitas, maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
A.PPL merupakan suatu mata kuliah yang sangat menunjang keberhasilan mahasiswa untuk mendapat kompetensi dan performansi yang diharapkan lembaga maupun pihak lain yang membutuhkan.
B.PPL merupakan realisasi dari pembelajaran yang ditemui di kampus, dan merupakan gambaran nyata dari permasalahan yang akan di temui kelas di lapangan.
C.Ilmu yang diperoleh di kampus tidak selamnya dapat diterapkan langsung di lapangan ( di sekolah ), tetapi harus menyesuaikan dengan lingkungan sekolah masing-masing.
D.Administrasi guru untuk tiap mata pelajaran yang di perbolehkan untuk praktik ternyata sudah lengkap dari KTSP, Silabus, RPP, Prosem, Prota, Daftar Nilai, Daftar Kemajuan belajar dan lainya, sehingga memudahkan bagi praktikan untuk melaksanakan praktinya. E.
Siswa dan lingkungan sekolah sangat kondusif untuk proses belajar mengajar.
4.2 SARAN-SARAN
Pelaksanaan PPL dari tanggal 2 Pebruari 2009 sampai dengan 16 Maret 2009 cukup membuat praktikan kewalahan, pada awalnya kami semua praktikan ragu-ragu untuk masuk kelas, tetapi setelah masuk dan memberikan materi pelajaran ternyata 14
sangat mengasikan. Dari pengalaman ini penulis mendapt beberapa permasalahan dan kiranya saran-saran yang penulis berikan kiranya dapat ditindaklanjuti oleh pejabat yang berwenang. Adapun saran-saran tersebut, yaitu:
A.Para praktikan hendaknya perlu dipersiapkan sedini mungkin melalui pendidikan dan latihan (Diklat) baik observasi lapangan maupun simulasi di kampus.
B.Perlu pendidikan dan latihan khusus dalam pembuatan administrasi guru dan penangan permasalahn yang kiranya muncul di sekolah.

Tuesday, February 15, 2011

Pilwalkot Salatiga 2011 dan Orientasi Politik ke Depan

Diskusi di kampus memang menarik, apalagi hal itu mampu meningkatkan ghirah budaya baca, bagi kawan-kawan. Lama tidak ngobrol soal politik lokal, membuatku hampir tidak tahu strategi untuk melangkah demi kemaslahatan umat. Pertarungan politisi yang semakin kental dan penuh ambisi, mewarnai kondisi sosial di kota Salatiga. Pemilihan walikota dan wakil wali kota semakin dekat, banyak para tim sukses bekerja ekstra demi keberhasilan pilwalkot ini. 
Transaksi politikpun semakin tidak bisa dibendung, partai-partai sibuk dengan konsolidasi mereka demi kekuasaan. Hampir semua fokus tertuju pada bagaimana cara memperoleh suara yang banyak sehingga dukungan serta kekuatan basis sengaja mereka cari dengan berbagai cara. Berbagai trik dilakukan, namun banyak yang bertanya, apakah hal itu memang dalam rangka untuk kesejahteraan masyarakat? 
Pendidikan moral, sosial, politik memang sangat penting , demi terciptanya masyarakat yang cerdas dalam memilih,namun demokrasi yang seharusnya mampu memberi harapan baru bagi rakyat, terkadang direkayasa sedemikian rupa oleh para birokrasi yang nakal. Sebenarnya kekuatan apa yang masih ada dalam diri kita, apakah itu ideologi,kolektifitas atau yang lain. Terkadang ideologi pun mampu terbeli dengan lembaran rupiah yang hanya habis dalam waktu beberapa jam.Pengetahuan yang seharusnya untuk kesejahteraan sosial , kini hanya digunakan untuk merusak tatanan demokrasi. Kultur budaya yang semakin tidak jelas, orientasi politik yang semakin kacau, membuat aku dan teman-teman semakin resah. Tapi ada satu hal yang semoga masih bisa dipegang, bagi kota salatiga, yakni "hati beriman" sebagaimana bahasa yang sudah menjadi kesepahaman bersama yaitu kota salatiga hati beriman. Semoga hal itu masih bisa dipegang oleh masyarakat salatiga. amin.

Saturday, February 12, 2011

Makalah Pra Peradilan , Makalah Hukum | Kampus Baca

Palu Pengadilan
BAB I
PENDAHULUAN
Praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang:
1. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan,
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Mengenai praperadilan ini diatur dalam Pasal 77 Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP. Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya (Pasal 79). Sedangkan permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya (Pasal 80).

Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya(Pasal 81). Tentang tatacara pengajuan pra peradilan dan mekanisme pemeriksaan di sidang pengadilan selengkapnya bisa di baca di KUHAP Pasal 82 dan 83.

Menarik untuk dibahas di sini adalah praperadilan telah diatur dalam KUHAP dan hal tersebut merupakan hak setiap Tersangka, keluarga, kuasa hukum atau pihak ketiga guna menjamin suatu kepastian hukum terhadap proses hukum yang sedang atau telah berjalan. Setiap penyidik ataupun atasan penyidik seolah antipati dengan pra peradilan. Ada suatu anggapan bahwa seorang penyidik yang pernah di praperadilankan dipandang mempunyai suatu cacat, sehingga dianggap tidak cakap atau tidak mampu melakukan penyidikan.
Praperadilan adalah suatu hal yang wajar dan tidak perlu ditakuti sepanjang proses penyidikan atau upaya paksa yang dilakukan didasarkan kepada aturan dalam KUHAP. Tidak semua putusan pra peradilan dimenangkan oleh tersangka atau pihak yang mengajukan. Di dalam proses sidang pemeriksaan pra peradilan tentunya akan mempertimbangkan fakta baik secara yuridis maupun fakta materiil. Apabila dalam KUHAP tentunya pra peradilan tersebut dimenangkan juga telah diatur dalam KUHAP.
Dikabulkannya praperadilan juga harus ditinjau lagi secara adil apakah karena suatu sebab yang disengaja atau suatu sebab yang berasal dari luar proses penyidikan. Adanya pra peradilan adalah untuk menjaga agar penyidik tidak sewenang-wenang serta untuk mengawal agar proses penyidikan dan atau penuntutan berjalan dengan mekanisme yang diatur di dalam KUHAP. Yang terpenting di dalam suatu proses penyidikan adalah penyidik harus bersikap netral, professional dan proporsional. Apabila kita yakin bahwa proses penuntutan tersebut telah dilaksanakan secara professional dan tidak memihak saya rasa tidak ada yang perlu dirisaukan dan juga dikhawatirkan.
Satu hal yang tidak kalah penting adalah harus segera dihapus anggapan bahwa praperadilan adalah suatu hal yang tabu bagi penyidik. Begitu pula dengan atasan penyidik atau pihak-pihak lain yang berkompeten terhadap proses penyidikan. Untuk mengurangi kesalahan dan keberpihakan penyidik dalam proses penyidikan,
Pengawas penyidikan juga dijabat oleh seorang perwira yang memiliki pengalaman yang cukup di bidang penyidikan. Kerja pengawas penyidikan ini bersifat independen. Selain itu mekanisme pengawasan internal juga berlaku terhadap setiap keberatan atau komplain dari pihak-pihak tertentu. Hal ini tidak lain menunjukkan adanya transparansi di dalam proses penyidikan. Oleh karena itu pra peradilan adalah suatu hal yang wajar dalam proses penyidikan dan untuk menjamin hak-hak tersangka atau pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan.

BAB II
PEMBAHASAN

Perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat manusia sebenarnya telah diletakkan dalam asas-asas yang terdapat dalam Undang-undang No.14 Tahun 1970, dan asas-asas tersebut yang akan ditegakkan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tersebut.
Telah disebutkan dalam penjelasan umum KUHAP, bahwa Undang-undang Hukum Acara Pidana ini adalah bersifat nasional sehingga wajib didasarkan pada falsafah/pandangan hidup bangsa dan dasar negara, maka sudah seharusnya ketentuan materi pasal atau ayat dalam undang-undang tersebut tercermin perlindungan hak asasi manusia.
Selanjutnya Penjelasan Umum dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memperinci asas-asas tersebut adalah sebagai berikut :
a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
b. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang.
c. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakann kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
d. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan hukum administrasi.
e. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan
f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
g. Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukannya penangkapan dan atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaaan dan dasar hukum apa yang didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahukan haknya itu termasuk hak untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.
h. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
i. Sedang pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam undang-undang.
j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.

Dari asas-asas tersebut di atas kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa Hukum Pidana kita hendaknya menjunjung tinggi hak asasi manusia, sekalipun terhadap seseorang yang didakwa telah melakukan suatu tindak pidana.
Perlu penegasan di sini, bahwa bukan berarti terhadap mereka yang disangka ataupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, diberikan haknya sedemikian seperti halnya seseorang yang tidak tersangkut suatu tindak pidana, akan tetapi meskipun akan dilaksanakan tindakan-tindakan tertentu bagi mereka yang disangka maupun didakwa telah melakukan tindak pidana, hendaknya pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut tidak sewenang-wenang, akan tetapi menuruti apa yang telah ditentukan undang-undang.
Didasari bahwa diiperlukan tindakan-tindakan tertentu di mana suatu tindakan akan melanggar hak asasi seseorang, yakni tindakan upaya paksa yang diperlukan bagi suatu penyidikan sehingga dapat menghadapkan seseorang ke depan pengadilan karena didakwa telah melakukan tindak pidana, akan tetapi bagaimanapun juga upaya paksa yang dilaksanakan tersebut akan menuruti aturan yang telah ditentukan dalm undang-undang sehingga bagi seseorang yang disangka atau didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, telah mengetahui dengan jelas hak-hak mereka dan sejauh mana wewenang dari para petugas penegak hukum yang akan melaksanakan upaya paksa tersebut, di mana tindakan tersebut akan mengurangi hak asasinya.
Dalam hal tersebut di atas, maka Hukum Acara Pidana kita dengan tegas memberikan secara terperinci dalam pasal-pasalnya serta ayat-ayatnya sesuai dengan asas-asas yang telah kami kutipkan dari penjelasan umum Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana di atas.
Dengan uraian di atas, maka timbul suatu pertanyaan, apakah dengan ditegaskan perlindungan hak asasi manusia di dalam KUHAP tersebut, berarti bahwa pada Hukum Acara Pidana sebelum KUHAP hak asasi manusia ini idak dilindungi.
Dengan perkataan lain, apakah di dalam H.I.R hak asasi manusia tidak atau kurang mendapat perlindungan.
Untuk mencari jawaban dari pertanyaan di atas, maka dilakkukan sesuatu pendekatan dengan memperhatikan sistem yang dianut di dalam melakukan pemeriksaan pendahuluan, yakni model accusatoir dan inquisitoir.
Di dalam sistem inquisitoir, di mana peranan penegak hukum, dalam hal ini pegawai penyidik, menunjukkan suatu kegiatan sedemikian rupa untuk mengawasi perkara; merekaa mengambil inisiatif dalam pengarahan atas kesalahan seseorang; sehingga terlihat adanya kecenderungan dilanggarnya hak-hak asasi seseorang, padahal apabila kita tinjau pasal-pasal di dalam H.I.R, khususnya yang menyangkut upaya paksa, juga terdapat pengaturan yang membatasi sedemikian rupa sehingga para petugas yang mendapatkan wewenang dalam pelaksanaan upaya paksa tidaklah dapat berlaku sewenang-wenang, umpamanya surat perintah penahanan yang menjadi syarat suatu penahanan, batas seseorang dapat ditahan, meskiipun pada akhirnya penahanan tersebut dapat diperpanjang, asalkan mendapat persetujuan hakim; setidak-tidaknya ada suatu batasan-batasan tertentu terhadap dilaksanakannya upaya paksa.
Sedangkan dalam sistem accusatoir pendekatannya adalah asumsi bahwa tidak boleh diganggunya suatu ketentraman masayarakat dan mempertahankan suatu nilai dimana negara jangan ikkut campur terhadap adanya sengketa individudalam masyarakat.
Akibatnya adalah, apabila seseorang menuduh orang lain telah melakukan kejahatan, maka dia harus sedemikian rupa mencari bukti-bukti atas kesalahan orang yang dituduhnya tersebut. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ‘Preasumption of innocence’ adalah jantung dari sistem accusatoir ini.
Dengan pendekatan kedua sistem tersebut diatas, belumlah dapat dipecahkan perihal perlindungan hak asasi manusia, khususnya dalam fase pemeriksaan pendahuluan, karena sistem inquisatoir maupun accusatoira pendekatannya adalh asumsi bahwa tidak boleh diganggunya suatu ketentraman masyarakat dan memepertahankan suatu nilai dimana negara jangan ikut campur terhadap adanya sengketa individu dalam masyarakat.
Akibatnya adalah, apabila seseorang menuduh orang lain telah melakukan kejahatan, maka dia harus sedemikian rupa mencari bukti-bukti atas kesalahan orang yang dituduhnya tersebut. Sehingga dalam hal ini dapat dikatakan bahwa ‘Preasumption of innocence’ adalah jantung dari sistem accusatoir ini.
Dengan Pendekatan kedua sistem tersebut di atas, belumlah dapat dipecahkan perihal perlindungan hak asasi manusia, khususnya dalam fase pemeriksaan pendahuluan, karena sistem inquisitoir maupun accuisatoir kedua-duanya memberikan batasan pada pelaksanaan upaya paksa, di mana justru di dalam pelaksanaan upaya paksa inilah dicari ukuran yang harus dinilai apabila dikaitkan dengan perlindungan hak asasi manusia.
Hanya kecenderungan-kecenderungan saja yang membedakan kedua sistem tersebut, di mana sistem inquisitoir mempunyai kecenderungan untuk memberikan kesempatan pegawai pwnyidikan memakai cara sedemikian rupa dalam mencari pembuktian atas kesalahan seseorang, sedangkan kesempatan tersebut tidak didapati pada sistem accusatoir.
Karena dengan melakukan pendekatan terhdap dua sistem di atas belum dapat dicari sejauh mana suatu sistem peradilan pidana menjunjung hak asasi manusia, maka selanjutnya dicoba untuk melakukan pendekatan dari dua model dari Herbert L. Packer, yakni Crime Control Model dan Due Process Model.
Apabila kita tinjau proses penyidikan pada zaman H.I.R haruslah disadari bahwa pada masa tersebut, khususnya dalam proses pidana, teknik penyelidikan belumlah berkembang, sehingga di dalam melakukan penyidikan lebih menekankan pada lat-alat bukti yang relatif mudah didapat, umpanya alat bukti pengakuan dari terdakwa. Dan dengan melihat tujuan dari pencegahan kejahatan, maka tidak bisa lain, haruslah dipkai cara yang paling efektif, dan efektivitas adalah pendekatan dari ‘Crime Control Model’.
Dalam Crime Control Model kewajiban untuk bekerja se-efisien mungkin, menjadi syarat utama, sehingga ada kekhawatiran bahwa para petugas yang dituntut bekerja secara efisien akan mengabaikan hak asasi manusia, meskipun hal tersebut disadari oleh logikayang wajar yang berpegang pada bekerja secara efektif. Sebagai contoh adalah pandangan perihal pemberian bantuan hukum bagi seseorang yang sedang dalam fase penyidikan seperti yang diuraikan di bawah ini.
Dengan bekerja secara efisien untuk menanggulangi kejahatan tidak berarti dengan demikian dikurangi hak asasi manusia, akan tetapi dengan berpangkal pada, bahwa seseorang yang telah secara faktual melakukan kejahatan, dan secara faktual telah bersalah, maka tidak dapat lain dari melakukan tindakan dengan digunakan perangkat perundang-undangan dalam melaksanakan proses hukum acara pidana.
Sehingga, apabila kita hubungkan dengan perlunya bantuan hukum, seorang pemuda pembela dianggap belum berguna dalam tahapan pemeriksaan pendahuluan, karena pada tahapan tersebut khususnya dalam fase penyidikan, yang diutamakan adalah masalah penemuan fakta, dan bukan hukumnya, sedangkan pembela diperlukan berkenaan dengan peristiwa hukumnya, sehingga seorang pembela baru akan diperlukan apabila telah sampai pada fase pemeriksaan yang berhubungan dengan masalah hukum.
Dengan berpegang pada efektivitas dalam penanggulangan kejahatan, maka bagi Crime Control Model, tidak diperlukan pembela pada fase penyidikan, bukanlah menghilangkan hak asasi dari tersangka, akan tetapi melihat kegunaan dari pembela yang terutama diperlukan di dalam pemberian bantuan di bidang hukum, dan bukan dalam pencarian fakta-fakta yang sedang dilakukan oleh petugas penyidik pada fase penyidikan.
Faham tersebut di atas bukan hanya dilihat dari sistem peradilan pidana pada zaman H.I.R saja, akan tetapi faham tersebut juga berkembang di Amerika Serikat bahwa dengan tidak dikehendakinya pembela pada fase penyidikan tersebut, bukannya menghilangkan hak asasi tersangka, akan tetapi memang dalam fase tersebut bukan fase dimana tersangka sudah berhubungan dengan proses hukumnya, pada fase tersebut barulah dicari fakta-fakta tentang yang mungkin dilakukan oleh tersangka. Sedangkan apabila terjadi suatu kesalahan dalam penahanan umpamanya, maka telah ada perangkat untuk memperbaikinya, yakni lembaga habeas corpus.
Dan apabila kita perhatikan sistem yang dipakai dalam KUHAP di maka telah diintrodusir suatu lembaga hakim yang telah lebih berperan secara aktif dalam pemeriksaan pendahuluan, yakni pra peradilan, tidak lain adalah suatu sarana dalam melakukan pengawasan tindakan dari para penegak hukum, khususnya dalam fase pemeriksaaan pendahuluan, apabila terjadi suatu pelanggaran terhadap hukumnya, karena para petugas penyidik hatus bekerja secara efektif, terutama dalam mereka mencari fakta-fakta sehingga mungkin terjadi bahwa segi hukumnya kurang diperhatikan.
Apabila kita hubungkan dengan Crime Control Model, fungsi pra peradilan justru menjadi pengawas apakah di dalam fase penyidikan, dimana pegawai penyidik melakukan tugasnya dengan bertitik tolak pada efektivitas pencegahan kejahatan telah melanggar hak asasi dari tersangka.
Di dalam Due Process Model, sistem peradilan pidana diibaratkan sebagai suatu mekanisme ban berjalan dan pada tiap tahap tertentu diadakan suatu ‘pengujian’ apakah suatu proses telah dilakukan sebagaimana mestinya oleh para petugas yang bergerak dalam wewenangnya.
Lembaga Pra Peradilan apabila dikaitkan dengan sistem due process model, dapat dianggap sebagai suatu batu penguji terhadap suatu fase pemeriksaan, yakni fase pemeriksaan pendahuluan, khususnya dalam hal didahulukannya penangkapan dan penahanan.
Hakim pra peradilan melakukan pengujian apakah pelaksanaan hukum acara khususnya dalam penangkapan dan penahanan telah digunakan dengan benar.
Bagi Due Process Model, ditakutkan apabila segi efesiensi yang diutamakan seperti dalam Crime Control Model, akan terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalam pelaksanaan hubungan hukum acara pidana, oleh karena itu, Due Process Model lebih menekankan pada penekanan pelaksanaan aturan-aturan hukum yang ada dengan benar dan semestinya.
Aturan-aturan yang telah diundangkan, merupakan peraturan yang telah diuji agar keserasian antara hak asasi seseorang dengan pelaksanaan hukum acara pidana, dijaga dengan baik, sehingga setiap kali suatu tahapan haruslah ada ‘batu pengujinya’ untuk menguji apakah memang peraturan yang telah ada dilaksanakan dengan semestinya.
Persoalannya sekarang adalah, bagaimana apabila terjadi ‘salah tindak’ oleh pegawai penyidik. Atau ada hak dari tersangka atau terdakwa tidak diberikan dengan semestinya .
Di dalam sistem Crime Control Model, karena pendekatannya adlah efesiensi dalam melakukan penanggulangan kejahatan, maka tindakan yang dilakukan terhadap pegawai penyidik yang lalai tersebut, tidak mempengaruhi proses perkara, artinya kalaupun terbukti memang terdakwa bersalah sedang ada kekeliruan perihal hukumnya sehingga ada hak tersangka atau terdakwa yang dilanggar dalam suatu pemeriksaan pendahuluan, maka meskipun dilakukan tindakan bagi petugas yang telah melakukan kekeliruan, akan tetapi tersangka tetap dilanjutkan proses perkaranya.
Oleh karena itu, dalam pra peradilan, pemeriksaan perihal keabsahan suatu pengangkapan dan atau penahanan adalah dilakukan apabila terhadap tersangka atau terdakwa dihentikan penyidikan atau penuntutannya, khususnya dalam menetapkan ganti kerugiannya.
Di dalam KUHAP, di mana telah dimuat hak-hak tersangka dan terdakwa, yang berarti dijaminnya hak-hak tersebut, merupakan suatu kemajuan dari hukum acara pidana di Indonesia, akan tetapi bagaimana apabila terjadi dilanggarnya hak-hak yang telah dijamin tersebut oleh para petugas yang melakukan pelaksanaan hukum acara pidana, apakah telah ada suatu pengaturan tentang hal tersebut?
Ternyata hal tersebut tidak diatur, kecuali adanya pengujian oleh hakim pra peradilan tersebut, sehingga kita belum dapat memecahkan permasalahan tersebut.
Apabila memang dianut pendekatan dengan cara bekerja seefesien mungkin, maka tentunya meskipun terjadi suatu kesalahan dilakukan oleh pegawai penegak hukum, maka kalupun ternyata ditemukan bersalah, proses perkaranya akan tetap dilakukan, sedangkan terhadap kesalahan yang terjadi, yang disebabkan oleh para pejabat tersebut dilakukan tindakan administratif belaka.
Berbeda dalam Due Process Model, di mana dari semula didasarkan pada pelaksanaan aturan mana yang merupakan suatu yang telah ditentukan demi menjaga hak asasi manusia, maka apabila terjadi suatu kesalahan dalam penerapan pelaksanaan aturan acara pidana, maka dengan sendirinya proses perkara tersebut dianggap batal, karena dengan demikian telah dianggap menyalahi hak asasi seseorang, dan ini tidak dibenarkan oleh konstitusi mereka.
Tidak dapat dipisahkan perihal akibat dari suatu kesalahan tindakan pejabat di atas, ialah sikap masyarakat kita. Umpamakan telah terjadi suatu kekeliruan dalam pelaksanaan penangkapan atau penahanan, umpamanya sajapenangkapan itu tidak disertai surat penangkapan, padahal melihat fakta-fakta memang tersang adalah pelaku tindak pidana, dan si tersangka memohon pra peradilan untuk menguji keabsahan penangkapannya, dan ternyata secara formil adalah tidak sah, meskipun secara materiil telah memenuhi persyaratan ditangkapnya seseorang.
Amat sulit diterima bahwa dengan demikian proses perkaranya batal demi hukum; lebih tepat kiranya, terhadap pegawai penyidik yang telah melakukan kesalahan diberikan suatu tindakan, sedangkan dalam prosesnya dilakukan pembetulan.
Barangkali ada satu siatem yang pernah ada dalam hukum acara pidana Indonesia, yakni pada H.I.R, patut menjadi perhatian kita; yaitu kewenangan hakim pengadilan negeri utnuk melakukan perubahan surat tuduhan (pasal 282 HIR) di mana hakim dapat menambahkan atau merubah dengan ketentuan yang ada dalam pasal 282 HIR tersebut tidak lain untuk melakukan sistem peradilan pidana, khususnya dalam hal ini adalah antara surat tuduhan dengan pemeriksaan di dipen sidang.
Pada sistem yang dipakai dalam KUHAp, pemerikasaan di depan sidang didasarkan pada surat tuduhan, dan apa pun yang ada di dalam surat tuduhan, hakim hanya mencari pembuktian atas kebenaran terhadap apa yang dituduhkan jaksa, sehingga paabila terjadi – umpama saja karena kekhilafan pada surat tuduhan sehingga apa yang dituduhkan dinyatakan tidak terbukti, maka dengan sendirinya terdakwa akan dibebaskan.
Hal tersebut di atas, apabila dipandang dari Due Process Model, adlah memang seharusnya demikian, artinya baik didasari proses penyusunan surat tuduhan, maupun di dalam pemeriksaan di depan sidang telah mempunyai aturan masing-masing, sehingga apabila terjadi kesalahan di dalam proses pembuatan surat tuduhan, maka dengan sendirinya akan berakibat bahwa terdakwa dibebaskan; Akan tetapi haruslah disadari bahwa dalam sistem Anglo Amerika terdapat suatu fase yang disebut Pretrial Conference, di mana dalam sidang yang juga dipimpin oleh seorang hakim, dicari dan dipersiapkan seluruh alat-alat pembuktian, sehingga dengan demikian amat tipis kemungkinan akan terdapat suatu kesalahan, sehingga kalaupun terjadi kesalahan, maka sudah selayaknya berakibat batalnya perkara tersebut demi hukum.
Kalaupun memang sejak semula KUHAP akan diarahkan ke sistem Duo Process Model, maka haruslah dipersiapkan perangkat sedemikian rupa pada masing-masing tahap pemeriksaan, sehingga sekecil mungkin terjadinya suatu kesalhan yang akan dilakukan oleh petugas pada masing-masing tahap tersebut.
Terlepas dari pendekatan baik dari Crime Control Model maupun dari Due Process Model untuk melihat sejauh mana KUHAP memperhatikan hak asasi manusia, maka dengan dicantumkannya hak dari tersangka dan terdakwa, berarti kita telah memperhatikan dan menghormati harkat manusia yang dalam hal ini mempunyai sifat universal, seperti yang termuat dalam “The Universal Declaration of Human Rights” serta “The International Convenant on Civil and Political Rights” beserta Optional Protocolnya, terutama yang termuat dalam Pasal 9 serta Pasal 14 ICCPR tersebut.
Dihhubungkan pila dengan tujuan dari Hukum Acara Pidana di mana antara lain adalah untuk mencari kebenaran materiil, sehingga dapat menjatuhkan pidana bagi mereka yang ternyata melakukan suatu tindak pidana, disamping juga harus menjaga agar mereka yang tidak bersalah jangan sampai mendapat hukuman.
Maka hukum acara pidana juga merupakan suatu undang-undang yang membatasi tindakan dari para penguasa.
Perihak batasan ini, sama diakui baik oleh sistem Crime Control Mode maupun oleh sistem Due Process Model, di mana terhadap kewenangan penguasa di dalam melakukan penyidikan maupun penanganan terhadap mereka yang dituduh melakukan tindak pidana, diberikan batasan-batasan tertentu.
Dengan tercantumnya hak-hak tersangka dan terdakwa di dalam KUHAP di satu pihak, dan dengan adanya batasan bagi para pegawai penyidik di pihak lain, ternyata menjadikan permasalahan dengan implementasinya.
Lembaga pra peradilan dimaksudkan sebagai suatu penguji apakah batasan yang diberikan oleh undang-undang terhadap pegawai penyidik yang melakukan penahanan dan penangkapan telah dilaksanakannya dengan benar, akan tetapi dengan di introdusirnya lembaga pra peradilan ini, justru mengakibatkan suatu keraguan bagi pegawai penyidik untuk melakukan suatu tindakan, khususnya dalam melakukan penangkapan dan penahan.
Keraguan dalam bertindak bagi para pegawaipenyidik tersebut di atas, tidak terjadi di dalam sistem anglo saxon maupun di negeri Belanda, karena di dalam bertindak, setidak-tidaknya mempunyai penasehat, terutama di bidang yurididnya, yakni prosecuter maupun magistrat di Amerika Serikat dan Rechter Commissaris di Negeri Belanda.
Di Indonesia, dengan sistem yang dianut oleh KUHAP, penyidik tunggal ada di tangan kepolisian, sehingga tanggung jawab hukunya sepanjang mengenai penangkapan maupun penahanan apabila dianggap tidak sah, dapat dimintakan pemeriksaan peradilan, di mana hal sedemikian dapat saja menyebabkan seorang pegawai penyidik bertindak ragu dalam menjalankan tugasnya.
Padahal suatu tindakan yang pertama-tama sekali untuk menentukan bahwa seorang yang diduga melakukan suatu tindak pidana berada di tangan pegawai penyidik, dan untuk itu dibutuhkan suatu tindakan yang cepat dari seorang pegawai penyidik.
Sperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, Polisi dan Jaksa adalah suatu unsur yang kritis di dalam menegakkan keadilan; tidak ada orang lain yang menduduki posisi lebih sensitif sebagaimana penegakan hukum dijalankan; para penegak hukum ini amat besar pengaruhnya terhadp siapa akan dilakukan penahanan, terhadap siapa akan dilakukan penuntutan. Apabila mereka berbuat salah dalam tindakannya, atau mereka ‘malas’ dalam bertindak, maka niscaya keadilan akan gagal ditegakkan.
Lebih mudah dilakukan pengawasan, adalah terhadap kejahatan yang menimbulkan korban atau siapapun yang merasa dirugikan akan melakukan pengawasan terhadap kelanjutan proses perkaranya, akan tetapi sulit bagi perkara ‘Victimless Crime’, di mana perihal penyidikan serta penuntutannya sama sekali tergantung pada polisi dan jaksa.
Oleh karena itu maka polisi adalah sedemikian pentingnya untuk menentukan apakah seorang yang dicurigai melakukan tindak pidana akan diteruskan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan ataukah cukup dilakukan penyelesaiannya di depan pegawai penyidik saja.
Dengan melihat betapa pentingnya peranan polisi dalam melakukan penyaringan apakah seseorang akan diajukan pada tahap berikutnya dalam suatu proses peadilan pidana atau tidak, maka perlu ditinjau sejauh mana tindakan mereka, baik yang ‘pro-active’ mapun yang ‘reactive’.
Apabila peran mereka lebih bersifat ‘reactive’ belaka, di mana mereka baru akan melakukan suatu tindakan bila ada laporan, maka sulit diharapkan bahwa terjelma suatu ketertiban dalam masyarakat; terlebih apabila dihubungkan dengan ‘kerepotan’ bagi pelapor (untuk menjadi saksi dan sebagainya) sehingga mereka ‘segan’ melakukan laporan.
Oleh sebab itu diperlukan tindakan yang ‘proactive’ dari seorang polisi, meskipun tidak sampai sejauh pada ‘mencari kesalahan seseorang’.
Perihal peranan polisi yang masih selalu mendapat sorotan bukan saja di Indonesia , akan tetapi juga di Amerika Serikat dituliskan oleh Seymour:
Successful police work must be swift efficient and effestive. This mean adequate personal, equipment and support resources, productive but fair investigative and arrest procedures and court in bringing arrested person promptly to trial. Unfortunately, we are still a long way from these objectives.
Untuk mengharapkan pekerjaan polisi sebgai pegawai penyidik agar bekerja se-efektif serta se-efisien mungkin sesuai apa yang dikehendaki dalam KUHAP, memang harua ditunjang beberapa faktor, umpanya faktor personalnya, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, umpamanya faktor personal dan lain sebagainya; dan apabila faktor-faktor yang menunjang tersebut tidak ada, ataupun kurang memadai, maka justru polisi yang berada dalam pintu gerbang dari suatu sistem peradilan pidana akan suli diharapkan bekerja dengan efektif dan efesien.
Suatu hal yang patut mendapat mendapat perhatian khusus kita perihal KUHAP, dengan dicantukan sejumlah hak bagi tersangka dan terdakwa, dibandingkan dengan ‘Declaration of Human Rights’ maupun Pasal 9 dan Pasal 14 ICCPR dapatlah dikatakan nahwa Hukum Acara Pidana Indonesia telah menempatkan dirinya pada deretan negara-negara di mana hak serta kehormatan seseorang dijunjung tinggi dan diatur dalam perundang-undangan secara terperinci.
Jika terdapat perbedaan antara beberapa hukum acara pidana pada negara-negara tertentu, apakah dari negara-negara Anglo Saxon, yaitu Inggris dan Amerika, atau negara-negara Eropa Kontinental seperti Jerman, Prancis dan Belanda ataupun negara-negara lain di Asis seperti Jepang, maka perbedaan itu hanya berupa sutu nuansa dalam penetapan bentuk yurudisnya yang berkenaan dengan teknik perundang-undangan, dan tidak mengenai isinya, khususnya yang berupa asas-asas di dalam hukum acara pidana.
Sejumlah hak tersangka dan terdakwa telah tercantum dalam perundang-undangan Indonesia, sehingga dengan demikian secara formal hak-hak tersebut telah dijamin dalam undang-undang, dan terhadap pelanggarannya, khususnya mengenai penangkapan dan penahanannya, telah disediakan perangkat peninjauannya melalui lembaga pra peradilan, sehingga dengan demikian telah tersalur suatu sistem peradilan pidana yang menjunjung hak asasi manusia.


BAB III
PENUTUP

Sudah tidak dapat dihindari bahwa dalam suatu sistem peradilan pidana haruslah diarahkan kepada suatu keterpaduan, agar tercapai suatu pencegahan kejahatan serta pembinaan nara pidana seperti yang diharapkan..
Disamping itu, KUHAP pun telah mencantumkan hak-hak tersangka dan terdakwa dengan lebih terperinci, dan ini telah menunjukkan ciri khusus suatu hukum acara pidana yang modern, sesuai pula dengan landasan negara kita, yakni negara hukum, di mana salah satu cirinya adalah dihormatinya hak asasi manusia.
Untukmenjaga hak-hak tersebut, meskipun bagian tertentusaja, yakni yang menjadi wewenang pra peradilan, cukup menunjukkan bukti tentang betapa perlunya hak-hak yang telah dicantumkan dalam KUHAP tersebut dijaga dan dijamin keberlangsungannya; di mana justru yang dijaga dan dijamin tersebut adalah yang paling erat hubungannya dengan hak asasi manusia, yakni kebebasan bergerak dari setiap warga negara.
Akan tetapi perwujudan selanjutnya dari Hukum Acara Pidana tersebut mendapatkan permasalahan-permasalahan, terutama implementasinya. Banyak usaha menemui kegagalan, karena seluruh tindakan didasari oleh formalisme belaka, dan ternyata Hukum Acara Pidana kita pada hakekatnya baru merupakan bentuk formal dari suatu usaha untuk merubah wajah masyarakat menjadi lebih berperikemanusiaan.
Adapun keberhasilan Hukum Acara Pidana di dalam menjaga dan melindungi hak asasi manusia, akan ditentukan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan oleh segenap anggota penegak hukum
Segala sesuatu itu pada akhirnya tergantung pada manusianya, oleh karena itu, disamping penguasaan pengetahuan tentang hukum acara pidana yang diharapkan dari para penegak hukum juga dituntut tumbuhnya kesadaran akan harkat serta martabat manusia yang harus dijunjung tinggi , dan ini berkenaan dengan faktor mental. Dan Hukum Acara Pidana di Indonesia diharapkan akan menjadi sarana pembinaan bagi para penegak hukum untuk mengadakan perubahan mental yang mengarah kepada pengakuan dan penghormatan ‘human dignity’.
Lembaga pra peradilan juga mempunyai tugas untuk menjaga dua kepentingan yang saling berhadapan, yakni polisi dan Jaksa di satu pihak, dan hak-hak tersangka dan terdakwa di lain pihak.
Demi efesiensi dan efektivitas kerja, tidak jarang terjadi bahwa baik polisi maupun jaksa akan mencari suatu pembuktian yang relatif mudah untuk segera menghadapkan terdakwa ke depan sidang pengadilan. Haruslah diakui bahwa sistem efisiensi penanggulan kejahatan tersebut oleh para penegak hukum sering dipergunakan oleh negara-negara yang masih muda.
Betapapun juga dengan diintrodusirnya lembaga pra peradilan telah membawa hukum acara pidana kita pada deretan negara yang menjunjung tinggi harkat manusia, dan hal sedemikian bukanlah karena ikut-ikutan saja, akan tetapi melakukan dengan penuh kesadaran, dan patutlah perihal menjunjung serta menghormati hak asasi manusia menjadi sikap seluruh warga Indonesia, terutama bagi mereka yang berhubungan erat dengan upaya paksa.


DAFTAR PUSTAKA

Black, Henry Campbell, Blacks law dictionary, 6th ed, West Publishing, St Paul-Minn, USA, 1990.
Purwosutjipto HMN, Pengertian Pokok Hukum Acara pidana Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1990
Loqman, Loebby, Pra peradilan Di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990
Hadari Djanawi tahir, Drs. S.H. Pokok-Pokok Pikiran Dalam KUHAP . Allumni, Bandung, 1981
Wirjono Prodjodikoro. Hukum Acara pidana Indonesia, Politia Bogor, Jakarta, 1995
Sutcipto rahardjo. Aneka Permasalahan Hukum. Penerbit Alumni/1977/Bandung.