oleh : A. Riawan Amin, Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia
Pengantar
Krisis perekonomian yang melanda berbagai kawasan Asia, Eropa, Amerika Latin,
bahkan Amerika Serikat, menyisakan pertanyaan besar, apakah sistim ekonomi yang
berlangsung saat ini merupakan sistem satu–satunya yang mampu menjawab persoalan
umat manusia? Apakah kapitalisme?, liberalisme yanmg mengusung gagasan pasar
bebas, mekanisme pase uang berbasis interes dan usuary, serta dominasi mata uang
sebagai komoditas yang diperjual belikan merupakan jawaban tunggal bagi ekonomi
masyarakat dunia?
Apakah sosialisme sepenuhnya dapat menggantikan ? apakah umat manusia hanya dapat
memilih salah satu dari keduanya? Mengapa cara lain yang sepatutnya digunakan dalam
menyelesaikan pekerjaan rumah dalam tatanan ekonomi mikro maupun makro, yaitu
sistim nilai dan kelembagaan yang berbasis ajaran agama, khususnya dalam Islam belum
menyentuh banyak kalangan pemikir, pelaku pasar maupun tokoh-tokoh pemerintahan
didunia?
Banyak jawaban dan spekulasi atas pertanyaan-pertanyaan ini. Namun, secara nyata
jawaban-jawaban yang ditempuh untuk mengatasi krisis perekonomian justru semakin
memperkuat peran lembaga-lembaga ekonomi kapitalis, melalu design kelembagaan
pasar bebas, peran lembaga-lembaga multilateralistik seperti, World Bank, International
Monetary Fund (IMF), WTO (world trande organisation), Asia Development Bank
(ADB), dan para pelaku pasar dunia lain , yang saling terintegrasi menciptakan sistemnya
sendiri, baik untuk kepentingan negara-negara yang mendominasi lembaga-lembaga
tersebut, maupun kepentingan pelaku pasar yang telah menginvestasikan dananya melalui
atau atas pengaruh lembaga-lembaga tersebut.
Adakah jalan dari institusi-institusi ekonomi kapitalistik ini terbukti benar? Fakta
menunjukkan, bahwa hingga saat ini, baik kasus amerika Selatan (Argentina, Brasil,
Mexsico, Peru, dan lainnya), Asia Tenggara (Indonesia,Thailand, Korea Selatan,
Philipina), bahkan di Rusia yang mencoba mengadopsi pasar bebas Eropa Barat berbasis
kapitalisme, kegagalan demi kegagalan masih terus berlangsung.
Kegagalan-kegagalan itu, secara tragis telah meningkatkan utang dan ketergantungan
financial yang semakin besar dari negara yang mengalami krisis, serta berkurangnya
asset-asset Negara tersebut karena beralih pemilikan untuk membayar utang dan
memenuhi anggaran belanja masing-masing.
Dalam proses ini, salah satu instrumen penting yang digunakan adalah lembaga keuangan
dan perbankkan. Mengingat lembaga inilah yang dapat menjadi media transaksi
keuangan dengan berbagai portofolio produk maupun jasanya, termasuk instrumeninstrumen
yang menfasilitasi utang antar negara maupun jual beli asset antar pelaku pasar
dunia, serta transaksi antar mata uang, yang tidak sepenuhnya dapat menggerakkan
perekonomian sector riil sebagai instumen untuk pemerataan kemakmuran umat manusia.
Mengapa banyak yang terlena dan tidak segera memperkuat sistim perekonomian dan
perbankan Islam untuk meraih kembali ketertinggalan dan keterpurukan saat ini?
istrumen negara maupun umat menusia dalam mengelola semberdayanya? Sebagai
mungkin akibat kurang memahami, sebagian lagi karena mungkin belum cukup
mengimani, sebagian lain mungkin tak peduli.
Ditengah keraguan atau mungkin ketidak fahaman, dan pengalaman yang ada, makalah
pendek ini, ingin mengulas sedikit peristiwa dari pengalaman masa krisi perbankan
nasional, dengan harapan semoga menambah energi dan inspirasi untuk mewujudkan
sistim ekonomi ilahiah, dan mewujudkan kebenaran Islam sebagai sistem dan mekanisme
universal bagi umat manusia, melalui perbankkan syariah.
I KRISIS EKONOMI DAN RESRTUKTURISASI PERBANKKAN DI
INDONESIA
A. Krisis Perbankkan Nasional
Banyak pihak mencatat bahwa krisis ekonomi yang terjadi sejak medio 1997 di Indonesia
memberikan danpak sangan luas yang mempengaruhi seluruh sendi –sendi perekonomian
nasional. Pada tahun 1998, kinerja perekonomian yang tercinta dari indikator makro
menunjukkan tanda-tanda kearah penurunan yang tajam, misalnya pertumnbuhan
ekonomi menunjukkan kontraksi yang dalam, yaitu sebesar 13,2% dengan trend negative
pada semua sektor ekonomi, sementara laju kenaikan harga-harga melonjak sangat tinggi
hingga mencapai 77,6%. Pada sisi lain angka penggangguran dari jumlah penduduk
miskin meningkat tajam sebagai akibat dari semakin banyaknya perusahaan yang
mengurangi bahkan menghentikan produksinya.
Memburuknya situasi perekonomian Indonesia akibat kebijakan suku bunga tinggi dan
depresiasi nilai tukar mata rupiah membawa akibat yang sangat buruk pada dunia
perbankkan. Kontraksi output sector perbankkan pada tahun 1998 mancapai 35% atau
sekitar 3 kali lebih parah dibanding sector lainnya. (lihat misalnya : restrukturisasi
perbankkan di Indonesia: pengalaman bank BNI, Indef, Jakarta Juli 2003).
Dari berbagai catatan, setidaknya selama krisis, dunia perbankan nasional mengalami
lima masalah sebagai berikut:
1. Negatif spread. Masalah ini terjadi karena bank harus membayar biaya bunga
kepada deposan (cast of fund) dengan suku bunga tinggi, sedangkan suku bunga
pinjaman tidak bisa disesuaikan sepenuhnya.
2. Likuiditas masalah likuiditas terutama dirasakan oleh bank swasta. Mobilitas
dana masyarakat yang masuk-keluar perbankan menjadi sangat tinggi, dan
sebagai akibatnya bank-bank terpaksa memerlukan suku bunga tinggi agar dana
masyarakat dapat terhimpun. Masalah likuiditas terjadi akibat rush terhadap bank
swasta, sementara bank-bank yang mengalami kelebihan likuiditas tidak mau
menolong bank-bank lainnya. Nasabah cenderung mengalihkan dana ke bankbank
yang dianggap aman (flight to safety), terutama ke bank asing dan bank
BUMN.
3. NOP (net open position) terjadi fluktuasi nilai tukar yang tajam menyebabkan
bank-bank devisa mengalami kesulitan dalam menglola asset dan kewajiban yang
didominasi dalam mata uang asing. Implikasinya, setiap terjadi pergerakan dalam
nilai rupiah, maka bank-bank mengalami kerugian valas (foreign exchange loss).
Sebagai akibat mudahnya bank-bank memperoleh pinjaman luar negeri untuk
memenuhi kebutuhan atau likuiditas valuta asingnya, yang ironisnya sebagian
besar tidak dilakukan lindung nilai (hadging), pada saat terjadi gejolak nilai tukar
kewajiban bank meningkat secara drastis.
4. NPL (Non-Performing Loan). Masalah ini muncul sebagai akibat terjadinya
kontrakso output disatu pihak dan meningkatnya beban utang perusahaan karena
meningkatnya suku bunga di lain pihak, maka kemampuan perusahaan membayar
kredit menjadi berkurang. Konsekuensinya, bank harus menaggung jumlah NPL
yang lebih besar. Dengan demikian bank diharuskan menyediakan PPAP yang
pada gilirannya memperberat posisi keuangan bank.
5. permodalan (Capital). Beban negative spread, meningkatnya biaya
pencadangan/PPAP karena meningkatnya NPL, penyelesaian utang luar negeri
yang terkait dengan NOP, serta melonjaknya beban biaya overhead dan biaya
operasional lainnya secara terakumulasi perlahan-lahan menggerogoti modal
bank.
B. Kebijakan Restrukturisasi Perbangkan Nasional
Suatu sistem perbankan yang kuat merupakan hal mendasar bagi pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi suatu negara. Sistim keuangan yang efesian akan membantu
suatu negara tumbuh, melalui upaya mobilisasi sumber daya keuangan dan pengalokasian
penggunaannya secara tepat.
Untuk itu, sebagai upaya pemilihan perbankan nasional, pemerintah telah menempuh
berbagai cara, di tengah alternative yang terbatas, bahkan disebut oleh banyak kalangan
ahli sebagai solusi terbaik dari alternative-alternative penyelesaan yang buruk (the best
choice from the worst solution). Stategi yang ditempuh oleh pemerintah antara lain infuse
atau suntikan modal baru ke bank-bank yang lemah melalui program rekapitalisasi
meggabungkan bank-bank yang lemah melalui program rekapitalisasi, menggabungkan,
bank (merjer), serta menutup bank-bank yang tidak layak
Pertama, kategori A: Bank dengan CAR (Capital Adequacy Ratio -ratio Kecukupan
modal) 4% keatas tidak diikutsertakan dalam program rekapitalisasi. Bank kategori ini
hanya diwajibkan menyusun rencana bisnis. Dalam kategori ini terdapat 73 Bank.
Termasuk diataranya Bank Muamalat Indonesia, sebagai satu-satunya bank syariah
dimasa itu.
Kedua Kategori B: Bank CAR lebih kecil dari 4% sampai minus -25%, wajib ikut serta
dalam progam rekapitalisasi. Batas CAR terbesar -25% untuk bank kategori B ini karena
Bank dengan CAR lebih rendah memerlukan penyertaan modal pemerintah yang
mendekati nasionalisasi. dalam kategori ini tredapat 30 Bank.
Ketiga, Kategori C: Bank dengan CAR lebih kecil dari minus 25% diberi waktu selama
30 hari untuk menambah modal atau memperbaiki kwalitas aktiva produktifnya sehingga
mencapai CAR minus 25% atau masuk Bank kategori B, sehingga dapat ikut program
rekapitalisasi. Apabila dalam batas waktu 30 hari bank tidak dapat memenuhinya, maka
penyelesaian masalah bank akan di dikoordinasikan antara bank Indonesia dengan BPPN
(Badan Penyehatan Perbankan Basional). Dalam kategori ini terdapat 24 Bank.
Dalam perkembangannya, pada sector perbankan swasta, setelah banyak
mempertimbangkan banyak hal, antara lain pertimbangan selain CAR, yaitu jaringan
cabang yang luas dan dampak atas ekonomi terkait, maka dikeluarkan keputusan
pemerintah, yaitu : 73 bank dipadang sehat dan dapat terus beroprasi, 8 bank diambil alih
oleh BBPN, 8 Bank berada dalam program rekapitalisasi dan 38 Bank ditutup.
Sedangkan untuk perbankan BUMN dilakukan Merger dan privatisasi, dengan
mempertimbangkan beberapa faktor. Khusus bank BUMN ini tidak ada kreteria CAR dan
hanya pertimbangan ekonomi untuk 7 bank BUMN dan 27 BPD. Selain itu, langkah yang
ditempuh adalah integrasi oprasi dan manegemen bank yang di marger, rekapitalisasi,
resolusi atas kredit macet dan program prifatisasi. Hasilnya adalah: 4 bank BUMN besar
dimerger, 12 BPD direkapitalisasi. Sedangkan perifatisasi ditempuh pasca merger dan
hingga saat ini belum juga rampung.
C. Biaya Rekapitalisasi
Berdasarkan catatan INDEF dalam buku restruturisasi perbankan di Indonesia, Juli 2003,
total dana yang dibutuhkan untuk menaggulagi biaya tahap awal rekapitalisasi mencapai
jumlah sebesar Rp. 240 Triliun, yang ditanggulangi melalui Obligasi pemerintah.
Estimasi biaya rekapitalisasi ini, antara lain Bank BUMN dan BPD: USD 12,50 Milyar,
pengambil alih Bank: USD 12,00 Milyar, 8 Bank Kategori B: USD 3 Milyar, dan Bank
Dilikuidasi : USD 2,35 Milyar. Sampai dengan akhir 2001, ternyata total obligasi
rekapitalisasi yang telah diterbitkan membengkak sampai dengan Rp. 660 Triliun.
Obligasi ini terdiri dari 3 jenis, yaitu: Variable rate (jangka waktu 3-10 tahun, dengan
tingkat suku bunga SBI tiga bulan): fixed rate (jangka waktu 5-10 tahun,dengan tingkat
suku bunga 12%-14%), dan tingkat suku bunga yang dikaitkan dengan indeks harga
konsumen atau CPI- linked rate (jangka waktu 20 tahun, dengan tingkat suku bunga 3 %
di atas inflansi).
Banyak pihak berpendapat bahwa memang program ini dapat mengurangi resiko
ekonomi. Namun banyak pihak memandang sebagai pemborosan dan menjadi beban
rakyat yang harus dipenuhi melalui APBN setiap tahunnya.
D. fungsi Intermediasi Pasca Restrukturisasi-Loan to Deposit Ratio (LDR)
Meskipun program restrukturisasi sudah berlangsung selama 5 tahun ini, namun fungsi
intermediasi perbankan nasional belum pulih. Hal itu dapat terlihat dari loan to deposit
ratio (LDR) atau Ratio Kredit terhadap simpanan dari tahun 1998-2002.pada tahun 1998,
rata-tara pemenuhan MDP perbankkan di Indonesia adalah sebesar 77,95 %. Nilai ini
berada di bawah ketentuan Bank Indonesia yang sebesar 94,75%. Kemudian tahun 1999
terjadi penurunan yang lebih tajam, yaitu LDR rata-rata hanya 44,90% atau menurun
42,39%. Pada tahun 2000 rata-rata LDR naik sedikit menjadi 45,83%. Namun demikian
tahun 2001 rata-rata LDR kembali menurun pada level 44,97%, pada akhir tahun 2002
rata-rata LDR yaitu 49,09%
No. Indikator 1998 1999 2000 2001 2002
1 LDR (%) 77,95 44,90 45,83 44,97 49,09
2 Laju LDR (%) n.a -42,39 2,07 -1,88 9,16
3 Kredit (Loan)
(Rp. Miliar)
487,426 277,300 320,600 358,600 410,300
4 Simpanan
(Deposit) (Rp.
Miliar)
572,524 625,616 720,319 809,126 845,015
5 Laju Kredit (%) 28,90 -43,11 15,54 11,92 14,42
6 Laju simpanan
(%)
60,38 9,08 15,14 12,33 4,44
Dari data ini menunjukkan bahwa solusi pemerintah untuk menciptakan sistem perbankan
nasional yang sehat, khususnya sebagai lemabaga intermediasi dalam menggerakkan
sektor riil belum memperoleh hasil. Sebaliknya beban pemerintah yang harus membayar
bunga dan cicilan obligasi setiap tahun terus meningkat dan menjadi beban APBN, yang
juga beban rakyat dan para pembayar pajak nasional.
II. Perbankan Syariah Sebagai Solusi Berkeadilan dan Kerakyatan
A. Perspektif Ekonomi Islam
Islam merumuskan sistem ekonomi berbeda dari sistem ekonomi
lain, karena memiliki akar dari syariah yang menjadi sumber dan
panduan setiap muslim dalam menjalankan setiap kehidupannya.
Dalam hal ini Islam memiliki tujuan-tujuan syariah (maqosid
asy-syariah) serta petunjuk untuk mencapai maksud tersebut.
Dalam Al-Mustasyfa, Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa
tujuan utama syariah adalah meningkatkan kesejahteraan
manusia yang terletak pada pemeliharaan 5 hal, yaitu: Imam (hifz
al-iman), hidup, akal, keturunan dan harta benda (hifz al-maal).
Segala tindakan yang berupaya meningkatkan kelima maksud
tersebut merupakan upaya yang memang seharusnya dilakukan
serta sesuai kemaslahatan umum.
Sebagai sebuah keyakinan yang bersifat rahmatan lil ‘alamin
(universal), Islam mudah dan logis untuk difahami, serta dapat
diterapkan, termasuk didalam kaidah-kaidah muamalahnya (tat
hubungan sosial ekonomi). Dalam hal ini ekonomi Islam sebagai
bagian kegiatan muamalah sesuai kaidah syariah, adapat
diartikan sebagai ilmu ekonomi yang dilandasi ajaran-ajaran
Islam yang bersumber dari al-Quran, as-Sunnah, Ijma’
(kesepakatan ulama) dan qias (analogi). Al-Quran dan as-Sunnah
merupakan sumber utama, sedangkan ijma’ dan Qias merupakan
pelengkap untuk memahami al-Quran dan as-Sunnah
Ekonomi Islam memiliki pandangan yang khusus terhadap uang
sebagai alat tukar pembayaran dan itu pun dalam konteks
terbatas. Uang tidak akan bernilai tanpa digunakan sebagai alat
pembayaran. Oleh karena itu uang yang bertumpuk (idle) tidak
sama dengan uang yang beredar. Jika kita menganggap uang
yang disimpan memiliki nilai, berarti kita telah menyalahi fungsi
uang sebenarnya. Menumpuk uang berarti menganggap bahwa
harta itu kekal dan orang itu cenderung berbuat sewenangwenang
denganya. Hal inilah yang membuat orang terangsang
untuk membungakan uang, karena merasa memiliki power
(kekuasaan) terhadap pihak lainnya. Tindakan ini merupakan
suatu bentuk eksploitasi suatu pihak terhadap pihak lainnya dan
dapat dikategorikan sebagai kejahatan sosial.
Selain soal pandangan terhadap uang, Islam juga memandang
bahwa salah satu upaya merealisasikan nilai-nilai ekonomi Islam
secara nyata adalah dengan mendirikan lembaga-lembaga
keuangan dan perbankkan yang sesuai kaedah syariat Islam. Dari
berbagai jenis lembaga keuangan, perbankan merupakan sektor
yang paling besar pengaruhnya dalam aktivitas ekonomi
masyarakat modern.
Tujuan bank syariah secara umum adalah untuk mendorong dan
mempercepat kemajuan ekonomi suatu masyarakat dengan
melakukan kegiatan perbankan, financial, komersial dan
infestasis sesuai kaidah syariah. Hal ini berbeda dengan bank
konvensional yang tujuan utamanya adalah pencapaian keuangan
yang setinggi-tingginya (profit maximization)
Sedangkan prinsip utama bank Islam terdiri dari larangan atas
riba pada semua jenis transaksi. Menrut Badrad-Dien al-Ayni
dalam kitab umdatul Qori, prinsip utama adalah penambahan dan
menurut syriah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa
adanya transaksi yang riil. Sedangkan menurut Imam Sarakhsi
dalam kitab al-mabsut, riba adalah tambahan yang disyaratkan
dalam transaksi bisnis dalam kitab al- Mabsut, Riba adalah
tambahan yang disyaratkan dalam transaksi syariah atas
penambahan tersebut.
Dalam pelaksanaan aktifitas bisnisnya, bank Islam dilakukan atas
dasar kesetaraan, keadilan, dan keterbukaan, pembentukan
kemitraan yang paling menguntungkan, serta laba yan diperoleh
dari usaha yang halal. Hal pokok yang juga menjadi pembeda
adalah kewajiban bank Islam untuk mengeluarkan dan
mengadministraikan zakat guna mengembangkan lingkungan
masyarakat (social conduct).
B. Perbankan syariah sebagai solusi
“allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
(QS. – Al Baqarah :257)
1. Makna dan Pemahaman
Bank menurut bahasa arab berasal dari kata “Mashrif yang
artinya pertukaran (exchange), yaitu penjualan mata uang
dengan mata uang yang lain. Kata mashrif sendiri merupakan
istilah nama untuk suatu tempat. Namun demikian artinya
dengan kata bank. Manurut bahasa Eropa (Itali, bank bersal
dari kata “Banco” yang arinya bangku atau counter. Kata
tersebut dipopulerkan karena segala aktifitas pertukaran uang
orang-orang Itali menggunakan bangku atau counter.
Meskipun demikian perkembangan perkembangan perbankan
agak tersendat bahkan sampai zaman Eropean Renaissance.
Bank pertama yang sudah berdiri di Itali pada waktu itu adalah
kota Venice tahun 1157, kemudian bank yang secara resmi
menggunakan deposito adalah di Barcelona 1401.
Sebelum masa kenabian nabi Muhammad SAW, kota Mekkah
merupakan kota pusat perdagangan dan para pedagang
berdatangan dari segala penjuru bahkan dari luar kota Mekkah.
Perjalanan para saudagar menuju pasar Mekkah dilakukan
sekaligus ibadah haji (waktu itu masih menyembah berhala)
sebagaimana yang digambarkan oleh Allah sebagai perjalanan
kaum Quraiys yang aktif berdagang sesuai musim waktu itu,
yaitu miusim panas dan musim dingin (QS. 106:1-2).
Karena sifat Muhammad yang jujur, adil dan dapat dipercaya,
para penduduk Mekkan (kaum Quraisy dan para pedagang)
sepakat untuk memberikan penghargaan kepada Muhammad
dengan predikat al- Amin. Pemberian gelar ini belum pernah
dialami oleh orang lain, sehingga Muhammadlah orang
pertama dan yang terakhir mendapatkan gelar al-Amin.
Karena gelar yan diberikan al-Amin, maka banyak orang
mendepositokan atau menitipkan hartanya yang berharga
kepada nabi Muhammad SAW, dan beliau menunjuk Ali untuk
mengembalikan seluruh harta yang diterimanya kepada pemilik
masing-masing.
Dari sejarah diatas maka secara tidak langsung menunjuk
bahwa penduduk Mekkah (pra Islam) telah mengetahui metode
pengguanan harta (uang), yaitu pertama: menyerahkan harta
kepada orang untuk diniagakan (commendan) dan
mendapatkan pembagian keuntungan dari hasil peniagaan
tersebut. Kedua, memberikan harta tersebut dengan atas dasar
riba (usury).
Kemudian setelah Islam datang, maka segala prinsip-prinsip
yang berlaku pada saat itu dan bertentangan dengan syariah
harus diubah, dan semenjak itulah parasahabat mulai mengerti
pentingnya aturan tersebut. Salah satu contoh adalah az-Zubair
bin al Awwam, yaitu beliau adalah salah seorang yang
dipercaya Rasul untuk sebagai tempat penyimpanan uang ,
namun Zubair menolak menerima uang simpanan tersebut.
Zubair mensyaratkan bahwa dirinya mau menerima uang
simpanan apabila uang tersebut bisa digunakan olehnya
(diterima sebagai pemberian pembiayaan) bukan hanya sekedar
tempat penyimpanan. Kemudian Zubair juga memberikan
secure guarantee kepada setiap pemilik modal bahwa uang
tersebut akan aman apabila tidak digunakan olehnya namun
akan mengalami pengurangan atau kerugian apabila digunakan;
begitu pula halnya apabila uang tersebut dijadikan sebagai
modal pembiayaan maka dana tesebut dijamin oleh sipeminjam
(bukan oleh Zubair).
2. Awal Perkembangan
Awal berdirinya bank Islam dimulai dinegri Mesir, dengan
nama Mit Ghamr pada tahun 1963, kemudian untuk
meningkatkan peranannya maka didirikan satu lagi pada tahun
1973 dengan nama Nasir Social Bank. Tak lama kemudian
Arab Saudi turut mnegembangkan peranan bank Islam dan
bagaimana pula mengalang dana-dana untuk membantui
negara-negara Islam yang miskin, kerena itu berdirilah Islamic
Development Bank, Jeddah pada tahun 1973. menyusul
kemudian Dubai Islamic Bank, di kota Dubai 1975.
Untuk mengimbangi adanya bank dunia konvensional, maka
berdirilah DMI (Darul Mal al-Islam), al Barkah, al Rajihi, dan
Kuwait Finance House. Kelompok ini terus berkembang
seiring dengan perkembangan zaman dan mengajak negaranegara
lain untuk membuka bank Islam.
Secara ringkas, negara-negara yang sudah memili bank Islam
adalah: Pakistan Bahrain, Kuwait, Dubai, Abud Dhabi, Saudi
Arabia, Iraq, Qatar, Iran, Jordan, Palestia, Yaman, Libanon,
Malaisya, Indoneisa, Bangladesh, Turki, Albania, Brunei,
Mesir, Senegal, Sudan, Nigeria, Tunisia, Jibauti, Ghuinea,
Mauritania.
Saat ini, bahkan dalam masa-masa mendatang, bank Islam
bukan hanya didirikan dan dimiliki oleh negara atau kelompok
muslim, tetapi juga perbankan Barat yang cukup besar ikut
terlihat dalam pendirian bank Islam seperti: United Kindom,
USA, Canada, Luxembourg, Switzerland, Denmark, Afrika
Selatan, Australia, India, Sri Langka, Philipina, Cyprus,
Bahmas, Virgin Islands, Cayman Islands. Setidaknya ada tiga
lembaga keuangan Barat menginvestasikan dananya untuk
pendirian lembaga keuangan Islam, Citibank (dari paman
Sam) ABN Amro (Eropa) Dan ANZ dari Australia. Citibank
mendirikan City Islamic Investmen Bank dan ABN mendirikan
ABN Amro Global Islamic Financial Services di Bahrain.
Bank Anz mendirikan first ANZ International mudaraba, ltd,
yang sasaran operasionalnya adalah kawasan timur tengah,
Afrika Utara, dan Tasia. Ada juga bank-bank konvensional
yang mempunyai unit tersendiri dan menggunakan konsep
syariah seperti: Citibank, USA, ANZ (Australia dan New
Zealand), ABN AMRO (Dutch), Goldman Sachs (United
Kingdom), Kleinwort Benson (German), Hong Kong Shanghai
Bank in UK, Saudi Amerika Bank (USA-Saudi), Saudi British
Bank (UK- Saudi)
3. Perbedaan Perbankan Syariah dan Bank Konvensional
Menurut undang-undnag no. 7 tahun 1992 yang diubah
menjadi undang-undang no. 10 tahun 1998 tentang perbankan
yang dimaksud dengan perbankan adalah segala sesuatu yang
menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan
usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan
usahanya (pasal 1 ayat 1). Kemudian dilanjutkan dengan ayat 2
menyatakan bahwa bank adalah bandan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan,
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.
Undang-undang nomor 10 tahun 1998 juga mempertegas
eksistensi prinsip usaha bank berlandaskan syariah, yaitu dalam
ayat 3 yang berbunyi “Bank umum adalah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.
Pengerahan dana dari masyarakat dan penyalurannya kembali
pada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan
(financing) merupakan dua fungsi utama bank yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Dalam hal ini, fungsi pembiayaan
(financing) tidak mungkin ada tanpa fungsi pengerahan dana
atau investasi masyarakat melalui perbankan (syariah).
Berdasarkan kedua fungsi tersebut, nampak adanya dua
hubungan hukum antara bank dan nasabah yaitu: pertama,
hubungan hukum antara bank dan nasabah pembiayaan.
Melalui perbankan syaraiah hubungan kedua pihak itu tidak
saling dirugikan akan tetapi sama-sama mendapatkan manfaat
yang lebih (laba) dan tidak didasarkan atas kezhaliman.
Hubungan antara bank syariah dengan nasabah sebagai pemilik
sebagai rekening investasi tidaklah mencerminkan hubungan
kreditor-debitor. Bank syariah tidak memberikan janji atau
memastikan keuntungan diawal transaksi, tetapi
keuntunganganya ditentukan sesuai sifat , jangka waktu
investasi dan sesuai dengan hasil oprasional investasi sebagai
objek, atau proses investasi yang dilakukan bank pada berbagai
jenis pembiayaan, pengelola produk dan jasa-jasa lainnya.
Pada prinsipnya cara kerja bank syariah meliputi menerima
dana dari masyarakat dan menyalurkan pada pihak yang
memerlukan serta memberikan jasa-jasa keuangna pada
masyarakat. Perbedaannya dengan bank konvensional adalah
dalam bank syariah pendapatan dari penyimpan dana tidak
didasarkan dalam bentuk prosentasi terhadap dana simpanan
yang ditetapkan diawal (bunga), namun ditentukan dalam
bentuk nisbah bagi hasil terhadap pendapatan bank yang akan
didapatkan (bagi hasil). Konsekwensinya adalah nasabah
penyimpan akan mendapatkan hasil dari dana yang
disimpannya tergantung dari pendapatan yang diperoleh bank.
Hal ini sangat berbeda dengan sistim perbankan konvensional,
yang menjanjikan nasabah penyimpan akan mendapatkan
bunga yang sudah ditetapkan diawal dan tidak secara langsung,
berhubungan dengan besarnya pendapatan bank.
Dalam sistim perbankan konvensional, selain berperan sebagai
jembatan antara pemilik dana dan dunia usaha, perbankan juga
masih menjadi penyekat antara keduanya karena tidak adanya
transferability risk dan.
Sedangka dalam sistim perbankana syari’ah bank syari’ah
menjadi manajer investasi, wakil atau pemegang amanat
(pengelola) dari pemilik dana (sebagai investor) atas investasi
di sektor riil. Dengan demikian, seluruh keberhasilan dan
resiko usaha secara langsung didistribusikan kepada pemilik
dana sehingga menciptakan keseimbangan (hegemoni).
Dalam konteks makro, modus ini menghindarkan terjadinya
gap antara sumber dana dengan investasi sehingga
menciptakan landasan pertumbuhan yang kuat.
Hal-hal itu, mengingat skema produk perbankan syari’ah
secara alamiah merujuk kepada dua kategori kegiatan ekonomi
yakni produk dan distribusi. Pertama difasilitasi melalui skema
profit sharing dan partnership, sedangkan kegiatan distribusi
manfaat hasil-hasil produk dilakukan melalui skema jual-beli
dan sewa menyewa. Berdasarkan nature tersebut maka kegiatan
keuangan syari’ah dapat dikategorikan sebagai investment
banking dan merchant/commercial banking.
Perbedaan-perbedaan pokok antara bank syariah dan bank konvensional:
No Perbedaan Bank Konvensional Bank Syariah
1 Falsafah Sisitim bunga (interest) Sisitim bangi hasil
(revenue/profit trist
sharing)
2 Landasan
hukum
Hanya perundang-undangan
dan ketentuan bank
al-Quran dan hadist nabi
muhammad SAW
3 Koridor bisnis Memiliki aspek maysir, riba
dan gharar
Anti maysir, riba dan
gharar
4 Organisasi
pengawasan
Tidak memiliki dewan
pengawas syariah
Memiliki dewan pengawas
syariah
5 Operasional - Dana masyarakat yang harus
dibayar bunganya pada saat
- Dana masyarakat berupa
titipan dan investasi yang
jatuh tempo
- Penyaluran dana pada sektor
yang menguntungkan, tanpa
mempertimbangkan aspek
halal –haram
akan mendapat hasil sesui
hasil dikelola usaha.
- Penyalur hanya pada
usaha yang halal, anti
maysir, riba dan gharar,
serta menguntungkan.
3. Produk Perbankan Syariah
Secara umum produk-produk simpanan bank syari’ah menggunakan prinsip
titipan (wadi’ah), yang diaplikasikan dalam produk “giro wadiah” dan prinsip
investasi (mudharabah), yang diaplilkasikan dalam produk “tabungan dan
deposito mudharabah”.
No Prinsipil Produk Aplikasi
1 Titipan
(wadi’ah
yadhomanah)
Giro dan
tabungan
Nasabah menyimpan dana di bank,
dengan akad bank dapat menggunakan
dana tersebut, dengan syarat bank dapat
menyediakan dana jika sewaktu-waktu
nasabah mengambil dananya
2 Investasi umum
(mudharabah
mutlaqoh)
Deposito
dan
tabungan
Nasabah menginvestasikan dananya
kepada bank dengan nisbah bagi hasil
dan jangka waktu ditetapkan diawal. Begi
hasil akan dihitung berdasarkan nisbah
yang disepakati, dihitung dari pendapatan
bank yang akan didapat.
3 Investasi khusus
(mudharabah
muqoyyadah)
Deposito/
dana khusus
Nasabah menginvestasikan dananya
kepada bank dengan nisbah bagi hasil
dan jangka waktu ditetapkan diawal
untuk membiayai proyek tertentu sesuai
dengan keinginan nasabah. Bagi hasil
akan dihitung berdasarkan nisbah yang
disepakati, dihitung dari pendapatan bank
yang akan didapat dari proyek yang
secara khusus dibiayai oleh deposito
tersebut.
Untuk produk-produk jasa seperti transfer, kliring, inkaso, pembayaran rekening listrik,
telefon dan lain-lain, menggunakan prinsip ujrah.
Sedangkan produk pembiayaan secara umum terbagi dalam dua prinsip, yaitu jual-beli
termasuk sewa-beli dan pembiayaan dengan skema bagi hasil. Skema pembiayaan jualbeli
terdiri dari murabahah, salam, istishna’ dan pembiayaan sewa beli yaitu ijarah
muntahiyyah bi tamllik. Sedangkan pembiayaan dengan metode bagi hasil juga
mempunyai dua produk yaitu musyarakah dan mudharabah termasuk mudharabah
muqayyad (restricted investmen).
Metode, produk dan tujuan pengunaan pembiayaan bank syariah di sajikan berikut ini:
No Metode
Pembiayaan
Produk -Aplikasi pembiayaan
1 Jual beli a. Murabahah - modal kerja seasonal/project atau investasi
b. Salam -modal kerja atau investasi terutama untuk
produk-produk pertanian
c. Istisna’ -modal kerja atau investasi, terutama project
dengan pembayaran per termin
2 Sewa beli Ijarah - investasi (fixed asset)
3 Bagi hasil a. Mudharabah - modal kerja atau investasi
b. Musyarakah modal kerja atau investasi
Secara prinsip mudharabah merupakan bagian dari musyarakah, dengan perbedaan
sebagai berikut:
Kreteria Mudharabah Musyarakah
1. Prinsip dasar - Sumber modal hanya
berasal dari shohibul maal
- Kepercayan penuh (trusty
financing)
- Sumber modal berasal dari
shohibul maal dan mudharib.
- Adanya keterlibatan shahibul
maal (joint financing)
2. Manajemen Hanya pengusaha, pemilik
modal tidak telibat
Dapat trelibat atas kesepakatan
bersama
3.Penanggung
kerugian
Pemilik modal Bersama-sama
4. Jenis modal Uang tunai Uang dan harta benda dinilai dalam
uang
C. Kinerja Perbankan Syari’ah
Bank syaria’ah pertama-tama dioperasikan di Indonesia adalah PT. bank Muamalat
Indonesia Tbk, pada tanggal 1 Mei tahun 1992, 11 tahun lalu, atau empat tahun setelah
paket deregulasi Oktober 1998 (pakto 88). Perkembangan perbankan syariah pada
asalnya berjalan lebih lambat tahun 1998 hanya terdapat satu bank umum syaria dan 78
BPRS.
Kehadiran perbankkan syariah dalam sistim perbankan nasional bukanlah semata-mata
mengakomodasi kepentingan penduduk Indonesia yang mayoritas muslim. Namun lebih
kepada adanya faktor keunggulan atau manfaat lebih dari perbankan syariah dalam
menjebatani kegiatan ekonomi dan lebih umum terhadap krisis. Seiring dengan itu, telah
tumbuh sebuah kecenderungan spiritual yang mulai melihat mudharatnya sistim bunga
(interes based banking), bersamaan dengan keyakinan yang semakin luas bahwa bunga
bank adalah haram. Walaupun bagi sebagian kalangan masih dipandang subhat (raguragu),
mengingat alasan dharurat dan belum adanya keberanian majlis ulama Indonesia
dalam memberikan fatwa haram atas bunga bank.
Pada awal operasinya, bank muamalat belum mendapat perhatian optimum dalam
industri perbankan nasional. Landasan hukum operasinya sebagai bank syariah hanya
dikategorikan sebagai “bank dengan sistim bagi hasil “, sebagai tercermin dalam UU No.
7/1992 yang meletakkan pembahasan perbankan bagi hasil hanya sepintas.
Namun demikian, meskipun sendirian peran yang ditempuh bank Muamalat Indonesia,
telah meningkatkan kesadaran masyarakat, bahwa perbankan syariat telah menunjukkan
keberadaan dan kebenarannya, serta teruji dalam krisis yang menimpa Indonesia. Ujian
itu berhasil dilewati dan menempatkan bank Muamalat Indonesia pada progran
restrukturisasi perbankan nasional pada tahun 1998 dalam kategori A (CAR di atas 4 %)
sehingga tidak memerlukan bantuan suntikan modal pemerintah dan hanya harus
menyampaikan bisnis plan, sebagai wajarnya. Hal ini terjadi karena beberapa hal, antara
lain:
Pertama, beroprasi atas dasar prinsip syariah melalui bagi hasil, tidak beroprasi atas dasar
bunga /riba, gharar, dan maisyir, dan karenanya tidak mempraktekkan pemberian bunga
kepada deposan maupun penarikan bunga dari para pemimpin dana / nasabah
pembiayaan.
Kedua, tidak mengalami negative spread. Hal ini terjadi karena bank muamalat tidak
memberikan bunga, dalam hal ini bagi hasil lebih besar dari yang diperoleh, melainkan
revenue sharing dari hasil usaha nyata atas penyaluran dana masyarakat kepada sector
usaha yang dibiayai bank.
Ketiga, tidak mengambil posisi untuk melakukan spekulansi mata uang (gharar)
sehingga tidak mengalami problem NOP (net Open Position). Dan keempat, bertumpu
pada pemikan terhadap usaha kecil dan menegah (UKM) yang terbukti tangguh dan
tahan dalam menghadapi krisis perekonomian nasional.
Pertumbuhan bank Muamalat sejak 1998 pun amat mengembirakan. Hal ini tanpak dari
asset yang terus tumbuh, FDR (Financing to Deposit Ratio atau LDR) yang selalu lebih
dari 80 % setiap tahunnya, dan laba yang terus meningkat, dari sisi Asset, dari tahun 1998
sehingga saat ini mengalami pertumbuhan rata-rata per tahun 48.31%. dari Rp. 446,9
Milyar pada akhir tahun 1998 menjadi Rp. 2.139 Triliun pada akhir tahun 2002.
Pembiayaan yang diberikanpun mengalami peningkatan rata-rata pertahun sebesar
60.33%. dari Rp. 318 Milyar pada akhir tahun 1998, menjadi 1.734 Triliun pada akhir
2002. begitupun dengan dana pihak ketiga meningkat rata-rata pertahun 44.79%, dari
Rp. 319,9 Milyar pertahun pada akhir tahun 1998 menjadi Rp. 1.713 Triliun pada akhir
2002.
Bahkan dalam 2 tahun terakhir ini, Bank Muamalat Indonesia telah memperoleh berbagai
penghargaan. Berdasarkan rating majalah Infobank 2003, bank Muamalat masuk sepuluh
besar dengan predikatr “sangat bagus” dan menempati rangking ke-tujuh dalam kategori
asset Rp. 1 Triliun-Rp 20 Triliun, serta termasuk dalam “sepuluh besar bank devisa
terbaik di Indonesia, dengan predikat “sanngat bagus”. Penghargan lain adalah dari
majalah Pilar Bisnis, yang menempatkan bank Muamalat Indonesia dalam “sepuluh bank
devisa teraman di Indonesia”. Bank Muamalat pun telah menjadi bank syariah pertama
yang melakukan emisi obligasi syariah sub-ordinasi pertama di Indonesia, senilai Rp. 200
Milyar, dengan tenor 7 tahun, dan bagi hasil 91:9, dengan rate indication berkisar setara
dengan 17 %, sehingga berhasil menambah permodalan dan memperbaiki CAR-nya
melalui obligasi syariah ini.
Problem yang dialami bank Muamalaht pada masa krisis, terjadi karena industri secara
keseluruhan mengalami krisis, sehingga berimbas pada pendapatan bank. Dari
keberhasilan bank Muamalat Indonesia melawati krisis ini, apalagi sejak UU perbankan
No. 1 tahun 199, pertumbuhan bank syariah di Indonesia begitu penting dan signifikan.
Berdasarkan statistik perbankan syariah Mei 2003, dari bank Indonesia, jumlah bank
Syariah di Indonesia, sampai akhir april 2003 tercatat, bank umum syariah baru 2, yaitu
bank Muamalat dan bank Syariah Mandiri, 8 bank umum yang membuka unit atau kantor
cabang syariah yaitu: bank IFI, BNI Syariah, BRI Syariah, Danamon Syariah, JABAR
Syariah, Bukopin Syariahdan BII Syariuah serta 89 bank Perkreditan Rakyat Syariah
(BPRS). Beberapa bank konvensional dalam negri maupun asing yang beroprasi di
Indonesia juga telah mengajukan izin dan menyiapkan diri untuk segera beroprasi,
diantaranya bank Syariah Indonesia (BSI).
Sampai akhir Mei 2003, total asset perbankan syariah telah mencapai lebih dari Rp. 5,09
Triliun atau 0,46% dari total asset perbankan nasional. Sedangkan dana pihak ketiga
(DPK) sampai April 2003 telah mencapai lebih Rp. 3,6 Triliun, yang terdiri dari Giro
Wadiah Rp. 382,5 Miliar, Tabungan mudharabah Rp. 1,19 Triliun dan deposito
mudharabah Rp. 2,03 Triliun.
Pada sisi penyaluran dana, komposisi penyaluran dana perbankan syariah (dalam jutaan
rupiah), sampai Mei 2003, adalah sebagai berikut:
Rincian Pembiayaan Yang Diberikan
(Items of Financing)
Nilai (Rp) Pangsa (%)
Dalam rangka pembiayaan bersama
(sindicated financing)
29.165 0.73
Dalam rangka restruturisasi pembiayaan
(Restructurized financing)
549 0.01
Penyaluran pembiayaan melalui lembaga lain
(Chanelling)
- 0.00
Pembiayaan musyarakah (musharakah financing) 5 2.05
Pembiayaan mudharabah (mudharabah financing) 562,888 14.07
Piutang murabahah (murabahah receivable) 2,874,676 71.84
Piutang salam (salam receivable) - 0.00
Piutang istishna (istishna receivable) 240,708 6.02
Lainnya (others) 211,641 5.29
Total 100%
III. TANTANGAN DAN INISIATIF YANG PERLU DITEMPUH
I. Tantangan Yang Dihadapi
Peranan perbankan syariah dalam perekonomian relatif masih sangat kecil
dibandingkan porsi perbankkan konvensional. Berdasarkan pengalaman
dan catatan dalam Blueprint pengembangan perbankan syariah (blueprint
2002-2011) yang dikeluarkan bank Indonesia, Januari 2003, beberapa
kendala pengembangan perbankan syariah selama ini adalah:
a. jaringan kantor bank syariah dan pangsa pasar yang masih terbatas
b. pemahaman masyarakat dan sosialisasi yang belum tepat mengenai
produk, jasa dan kegiatan operasional bank syariah. Hal ini disebabkan
antara lain oleh pandangan ulama MUI yang belum tegas mengenai
bunga, yang kurangnya perhatian ulama atas kegiatan ekonomi di
Indonesia. Padahal kalangan ulama international telah menyatakan,
bahwa bunga bank sama dengan riba, dan riba hukumnya haram.
c. Sumber daya manusia profesional perbankan syariah masih terbatas.
d. Permodalan yang masih kecil
e. Belum konsisten antara pemahaman dengan pilihan perbankan syariah,
misalnya banyak tokoh masyarakat Islam dan institusi Islam,
rekeningnya diperbankan konvensional.
f. Ketentunan perundangan, peraturan-peraturan serta institusi
pendukung yang belum lengkap dan efektif.
g. Persaingan dengan perbankan konvensional domestic maupun luar
negri yang jor-joran dalam berpromosi.
Seiring dengan upaya bank Indonesia untuk memantapkan blueprint
pengembangan perbankan syariah di Indonesia, sosialisasi perbankan
syariah kedepan dan strategi pengembangan pengembangan syaraiah perlu
diarahkan untuk meningkatkan pansa pasar (market share) perbankan
syariah, meningkatkan kompetensi usaha dan level of playing field yang
sejajar dengan sistim perbankan konvensional, serta memperkuat peranan
perbankan syariah dalam memberikan solusi terbaik bagi perekonomian
nasional.
Mengingat keunggulan perbankan syariah dan demand side (sisi
kebutuhan) ready market dari mayoritas umat di Indoensia, dalam jangka
panjang, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, pada supply side (sisi
penawaran) bukan tidak mungkin dilakukan kebijakan dan proses
perubahan yang lebih fundamental dalam pengembangan bank syariah di
Indonesia, antara lain dengan memberikan ruang seluas-luasnya kepada
bank-bank konvensional untuk membuka layanan, termasuk melalui sistim
windaw pada bank konvensional maupun konvensional maupun bankbank
konvensional besar menjadi bank syariah.
2. Inisiatif Ynag Perlu Ditempuh
Beberapa upaya yang perlu dilakukan pemerintah bersama para pelaku
ekonomi syariah untuk merealisasikan hal tersebut ditempuh melalui
beberapa langkah utama:
a. Memberi kemudahan pengembangan jaringan pelayanan dan
pembukaan kantor-kantor bank syariah untuk memperluas
jangkauan pasar dan memberikan pelayanan.
b. Mengupayakan peningkatan modal dan kemudahan dalam
memperolah modal bagi bank syariah.
c. Melengkapi kerangka hukum dan penyempurnaan ketentuan
perbankan syrariah. Dalam hal ini isu perlu tidaknya UU
perbankan syariah harus segera dituntaskan oleh pemerintah,
dalam hal ini bank Indonesai dan DPR.
d. Melengkapi istitusi pendukung yang lebih efektif, antara lain
Auditor Syariah, Pasar Keungan Syariah International,
Lembaga Penjaminan Pembiayaan Syariah, dan Badan
Arbitrase Syariah.
e. Menyiapkanpusan informasi dan komunikasi keuangan
syariah, yang berfungsi menghubungkan sector riil dengan
sektor pembiayaan syariah.
f. Melanjutkan sosialisasi dan edukasi publik yang didukung
olah bank Indonesia, para ulama diseluruh pelosok maupun
melalui majelis ulama, asosiasi dan masyarakat, yang
didukung anggaran bank Indonesia.
g. Menyiapkan special purpose company/vehicle (SPC/V), untuk
membantu melakukan sekuritisasi asset bagi bank syariah
yang ingin meningkatkan likuiditasnya (misalnya melalui
asset backed securitisation-ABS).
h. Mendorong kekuatan bank syaraih local untuk menjadi pemain
pasar global dan berdaya asing international.
IV. EPILOG
1. EKONOMI Islam dan perbanknan syariah merupakan solusi bagi
peningkatan kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan ekonomi di
muka bumi, termasuk di Indonesia.
2. Merupakan kewajiban bagi umat Islam sebagai “khalifah” di muka
bumi untuk meningkatkan kemakmuran, kesejahteraan dan
keadilan melalui kegiatan muamalah (berekonomi dan berniaga)
yang sesuai kaidah-kaidah syariat Islam.
3. Saat ini peran perbankan syariat masih sangat kecil ditengah ready
market umat Islam Indonesia yang amat besar jumlahnya.
4. Banyak tantangan yang harus diselesaikan bersama oleh para
pelaku, pemerintah dan masyarakat, termasuk keberanian ulama
Indonesia untuk bersepakat dan mengeluarkan fatwa bahwa
“bunga bank sama dengan riba dan karenanya haram hukumnya”
5. Para pelaku usaha masih harus diyakinkan bahwa bank syariah
mampu memberikan manfaat ekonomi langsung secara praktis
maupun spiritual yang menjamin kehalalan dan keberkahan,
sehingga mampu memurnikan jiwa, razqi, hata dan keturunan dari
kemungkinan yang haram maupun yang syubhat.
Jakarta, 12 Agustus 2003